Home » » Belajar dari Negara Paling Inovatif di Dunia

Belajar dari Negara Paling Inovatif di Dunia

Desember 2014, saat itu musim dingin tatkala saya menginjakkan kaki kali pertama di Eropa, tepatnya di Kota Lund, Swedia. Jalanan sepi saat rombongan dari Indonesia dijemput bus Lund University. Awalnya saya pikir mungkin karena saat itu sore, sedikit gerimis, ditambah sangat dingin, jadi tak banyak orang berkeliaran di luar. Kelamaan saya tahu bahwa jumlah penduduk negara ini hanya 9 juta jiwa, hanya sepertiga penduduk Jakarta.

Ini kali pertama saya merasakan musim dingin. Shock ketika telapak tangan serasa membeku padahal pakai jaket dan kaos tangan tebal. Suhu semakin dingin saat angin berhembus. Saat tiba di hari pertama, suhu berkisar 50C dan terus turun setiap hari. Sayangnya tak ada salju. Padahal saya ingin sekali melihat jalanan dan pepohonan bersalju. Sejak dulu saya ingin sekali ke luar negeri untuk studi lanjut. Dan Allah takdirkan kali ini melalui jalan berbeda. InsyaAllah suatu saat lagi untuk studi S3 yah, mungkin di negara yang berbeda.


Berangkat kali ini, diluar perencanaan. Suatu hari Sensei saya menawarkan untuk mengikuti training di Swedia. Transport dan akomodasi didanai Kemenristek. Beliau bilang “mungkin ada do’a-doa terpendam Tri Hanifa jadi tatkala nyari siapa yang bisa berangkat saya teringat Tri Hanifa.” MITI satu-satunya NGO yang diundang, lainnya adalah perwakilan government dan universitas. Karena hampir semua officer baru pada pulang dari keliling Eropa jadilah dua perwakilan dari MITI daerah ditawari untuk berangkat. Paspor, visa, peralatan musim dingin semua disiapin mendadak. Yang mengharukan adalah ketika rekan-rekan officer MITI mengumpulkan tabungan Euro mereka untuk akomodasi sementara, mbak Intan memberikan satu amplop kecil berisi kepingan logam Euro. Betul sampai receh-recehnya dikeluarin. Masya Allah indahnya ukhuwah yah.

Dua hal yang membuat saya shock kali pertama tiba di Swedia adalah suhu dan makanan. Rasa makanannya sungguh ajaib, termasuk nasi karena khasnya di sana masaknya dicampur keju jadi rasanya tetap aneh. Hari ketiga disana saya tumbang, maag kambuh karena efek suhu dingin dan susah makan. Tapi saya masih mending, ada bapak dari Kemenristek sampai harus masuk rumah sakit. Takdir Allah, peralatan masak di Stayat hotel sangat lengkap jadi hari-hari berikutnya kami masak. Jadi yah ternyata melihat salju itu tak seindah merasakan musim dinginnya, bahkan ada case beberapa bulan lalu, mahasiswa Indonesia yang meninggal karena hipotermia akibat musim dingin.

So kalau mau ke luar negeri, terutama yang lidahnya sulit adaptasi kek saya, sebaiknya bawa cadangan makanan dari Indonesia untuk survive di awal kedatangan, sambil tetap kita adaptasi dengan taste makanan negara tersebut. Untuk membeli makanan siap saji, sebagai muslim kudu berhati-hati memastikan itu halal. Saat makan di restauran, saya lebih memilih menu vegetarian. Demikian halnya saat memilih minuman, juga kudu hati-hati karena water, minuman bersoda, dan alkohol (bir atau wine) disajikan bebas dan pembeli bebas ambil. Saat beli makanan instan kemasan pun perlu dicek terlebih dahulu komposisinya untuk memastikan kehalalannya. Rerata package label disana pakai Swedish namun ada juga Swedish-English. Biasanya kalau yang meragukan tidak saya beli toh masih banyak pilihan makanan lainnya.

Banyak hal yang saya pelajari dari Sweden. Pertama adalah toleransi. Suatu ketika saat lunch prasmanan di Lund University, kami disuguhi menu daging ayam. Mereka sampaikan bahwa dagingnya dibeli khusus dari toko halal. Kata mereka “tak perlu khawatir untuk makanannya, kami menghormati kepercayaan anda.” Untuk minuman, kami juga diberi beberapa pilihan, water, tea, cofee, soda, dan alkohol. Semua diberi label sehingga kami tidak salah memilih. Pernah juga saat farewall diner kami disuguhi wine, kata mereka ini tak mengandung alkohol karena sudah diuapkan. Mereka jelaskan cara pembuatannya hingga alkohol itu katanya hilang. Tapi tentu saya tetap tak minum wine tersebut. Yang paling saya sukai adalah buah anggurnya, di Indo saya belum menemukan anggur seenak di Sweden.
Di kota Lund tak ada masjid atau mushola, namun dari pihak kampus mempersilahkan kami untuk pakai ruang kelas untuk dipakai sholat berjamaah. Begitupun saat shalat Jum’at, bapak-bapak yang muslim dipersilahkan untuk shalat Jumat di ruang kelas. Setiap masuk waktu shalat, kelas break dan kami diberi kesempatan untuk shalat dulu baru melanjutkan sesi training.

Toleransi di jalan raya dan di bus umum juga sangat menarik. Untuk jalan-jalan umum yang tak ada traffic light-nya, kendaraan akan berhenti untuk mempersilahkan pesepeda dan pejalan kaki menyebrang terlebih dahulu, meski itu tak ada rambu-rambunya. Beda banget kan sama di Indonesia. Menyebrang jalan raya selalu membuat saya senam jantung karena berpacu dengan mobil motor yang seringkali kali tak mau mengalah terhadap para pejalan kaki ditambah klakson-klakson yang nyaring jika ada yang nyebrang. Kendaraan dalam kota adalah bus atau sepeda jika jarak dekat. Train untuk antar kota. Bus selalu on time tiba di shelter. Namun jangan khawatir terlambat, karena beberapa menit kemudian akan ada lagi bus berikutnya untuk trayek yang sama. Ini ciri masyarakat yang disiplin yah.

Bus disini sudah pakai bahan bakar bio, hanya ada sopir, tanpa kernet. Pintu dibuka dan ditutup otomatis dikendalikan oleh sopir. Begitu masuk langsung bayar dengan gesek kartu ke mesin yang tersedia. Pintu masuk penumpang berbeda dengan pintu keluar sehingga lebih tertib. Saat mau turun penumpang tinggal tekan bel dan bus akan berhenti. Penumpang bisa turun dimana saja, namun naiknya harus dari shelter-shelter yang telah disediakan. Para lansia, ibu hamil atau yang punya bayi, dan difable memiliki tempat khusus dalam bus. Jika kursi tersebut penuh, penumpang lain inisiatif akan mengalah untuk golongan tersebut. Yang menarik juga bahwa para ibu tak segan membawa bayi-bayi mereka ke luar rumah meski saat itu cuaca sangat dingin. Bayi-bayi itu ditempatkan dalam kereta dorong lengkap dengan selimut dan baju hangat. Lucu dan menggemaskan.

Mata uang resmi Sweden adalah Krona Sweden, 1 Kr setara sekitar Rp1600an. Saat itu saya bawa Euro sehingga kudu menukarnya di Money Changer, namun saya keliru bukan ditukar dengan Krona Sweden tapi Krona Denmark. Baru ketahuan saat di hotel hehehe. Saya juga sih yang salah, lebih tepatnya baru tahu jika ada beberapa Krona. Kalau belanja di Swalayan bisa pakai Euro, namun toko-toko kecil hanya menerima Krona Sweden atau credit card. Bagi yang tidak mau repot menukar di Money Changer, bisa ambil cash di mesin atm lokal pakai atm card Indonesia. Meski saldo kita bentuk rupiah, uang dari atm otomatis keluar dalam bentuk Kronor. Pastinya ada biaya tarik tunai, seperti halnya ketika kita tarik tunai dari atm bersama di Indonesia.

Sayangnya saat tiba di Indonesia sisa Kronor saya tak bisa ditukar lagi ke rupiah karena tak ada bank yang menyediakan. Padahal lumayan jumlahnya. So, kalau mau balik lagi ke Indonesia pertimbangkan juga apakah mata uang cash yang tersisa masih dapat ditukar di dalam negeri atau tidak. Untuk amannya saran saya sebaiknya ditukar dengan Euro atau Dolar karena semua bank atau money changer provide untuk penukaran mata uang tersebut.

Sebagai negara yang pernah dinobatkan sebagai negara paling inovatif kedua di dunia, tentu saja banyak terobosan-terobosan baru dalam bidang sains dan teknologi di Sweden. Lund University, merupakan salah satu kampus tertua di Sweden. Mereka menganggarkan dana riset yang sangat besar untuk membangun inovasi dalam berbagai bidang. Mereka tidak hanya menciptakan invensi dan inovasi tetapi juga menjadikan inovasi itu dikomersialisasi di industri.

Selain universitas, inkubator teknologi banyak dibangun sebagai pusat-pusat riset produk. Inkubator bisnis juga dibangun untuk merangsang tumbuhnya entrepreneur baru di berbagai sektor. Banyak grant, kompetisi bisnis, kredit finansial, inventor, join venture diberikan akses sebagai alternatif financial bagi tumbuhnya bisnis-bisnis baru yang kompetitif. Lembaga-lembaga ini tidak hanya memberi dana namun juga menyediakan fasilitas coaching dan networking. Tak heran jika pertumbuhan entrepreneur di Sweden tumbuh sampai 20% per tahun sejak mereka mulai mengimplementasikan sistem inovasinya. Bahkan terdapat satu kota bernama Skanee, disana ada Skanee Food Innovation Network, satu dari 10 penduduk Skanee adalah pengusaha makanan. Konon katanya mereka ingin menjadikan Skanee sebagai surga kuliner di Eropa.

Semua keberhasilan Sweden dalam menumbuhkan entrepreneurship didukung oleh kuatnya sistem inovasi yang dibangun. Tidak hanya triple helix, tapi multiple helix artinya hampir seluruh stakeholder saling bersinergi dalam membangun sistem inovasi mereka. Tak heran jika akhirnya mereka memiliki jaringan modal, teknologi, dan pasar yang kuat untuk memperluas bisnis ke pasar internasional. Sweden negara yang relatif kecil, jumlah penduduk kecil, dan kultur yang tak banyak ragamnya contohnya dalam hal bahasa hanya ada English dan Swedish sehingga sistem inovasi nasional mereka relatif tidak banyak barrier.


Indonesia, negaranya lebih luas, penduduk sangat banyak, dengan beragam bahasa dan budaya, ditambah stabilitas ekonomi dan politik yang seringkali tak stabil. Ini menjadi tantangan utama untuk membangun sistem inovasi yang tepat untuk konteks Indonesia yang too big and too much. Sweden butuh waktu 40 tahun dari mulai mereka merancang ide sistem inovasi sampai bisa seperti sekarang ini. So, tak ada kata terlambat bagi di Indonesia untuk mulai bersinergi membangun sistem inovasi yang tepat. Universitas di Indonesia dapat belajar dari Lund University, bagaimana mereka menjadi pionir inovasi dengan menjadi jembatan networking. Semoga kerjasama Bilateral Indonesia-Sweden memberikan pencerahan baru dalam inovasi di negeri kita. 

Yogyakarta, Juni 2016
#latepost

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

 
Support : facebook | twitter | a-DHA White Series
Copyright © 2013. Moving Forward - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger