Mari Bahagia


Siapa yang tak kenal Bilal? Dialah budak hitam milik Umayah yang Allah berikan hidayah ketika cahaya Islam terbit. Karena keislamannya, Bilal mengalami siksaan yang sangat pedih dari Tuan-nya, disiksa dengan dijemur ditengah terik matahari padang pasir, ditindah tubuhnya dengan batu besar, dan disiksa dengan berbagai siksaan yang luar biasa kejam.

Kita juga mengenal keluarga Yasir, Ammar, ayah, dan ibunya yang berasal dari Bani Makhzum yang juga tak luput dari siksaan. Mereka disiksa oleh kaum musyrikin yang dipimpin Abu Jahal di tengah terik matahari karena keislamannya. Yasir, ayah Ammar syahid karena siksaan, demikan pula ibunya, ditusuk oleh Abu Jahal dari arah belakang dengan tombak. Dialah wanita yang pertama kali syahid dalam Islam. Ammar disiksa sedemikian keras sehingga dengan terpaksa iapun memuji Latta dan Uzza, namun Allah memaafkannya “Siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) ...” ( An-Nahl: 106).

Kita juga mengenal Mush’ab bin Umair, yang dibiarkan ibunya hingga kelaparan lalu diusir dari rumah karena keislamanya, lalu mendadak ia menjadi orang yang sangat miskin padahal awalnya ia adalah orang yang berkecukupan.

Kita akan terheran dan bertanya-tanya, mengapa Bilal dan para sahabat lain begitu tegarnya menghadapi ujian, intimidasi, dan siksaan yang berat? Jawabannya sederhana ternyata, karena mereka telah mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang tak dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Pada umumnya manusia berfikir bahwa bahagia itu adalah kekayaan yang melimpah, rumah indah, kendaraan mewah, sekolah tinggi, dan terpenuhinya semua fasilitas kehidupan. Memang benar bahwa itu adalah sarana di dunia untuk hidup bahagia, namun mengapa banyak orang berkecukupan dalam fasilitas dunia tetap saja mereka merasakan kesumpekan, stress, tak pernah merasa cukup, enggan berbagi, bahkan tak jarang mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Sementara kita lihat orang yang memiliki keterbatasan fasilitas duniawi hidupnya tenang, tentram, dan bersegera menolong orang lain. Mereka bahagia dalam keterbatasannya.

Kalau demikian berarti untuk bahagia harus meninggalkan urusan duniawi? Jadi orang miskin saja? Ah ya itu juga bukan kebahagiaan yang benar, karena kebahagiaan dapat dimiliki oleh siapapun. Bahagia itu bukan sesuatu yang nampak pada fisik, namun sesuatu yang ada di dalam hati. Pada ulama mendefisinikan bahagia adalah ketenangan hati, lapangnya dada, dan merasa cukup dengan pemberian Allah. “Sungguh mengherankan perkaranya orang mukmin, karena setiap perkaranya akan baik baginya, apabila dia mendapatkan kenikmatan dia bersyukur dan itu baik baginya, dan apabila ia mendapatkan musibah maka ia bersabar maka itupun baik baginya.” (HR. Bukhari)

Inilah bahagia dan bahagia hanya dapat diraih dengan keimanan. Dengan demikian, akidah yang benar akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan. Kita menyadari betul, bahwa kehidupan dunia ini sangat fluktuatif. Kadangkala kita berada dalam kesedihan, kesenangan, kemudahan, kesukaran, kekurangan harta, dan musibah yang tiba-tiba. Iman adalah pondasi sehingga kita senantiasa tegar menghadapi berbagai goncangan dalam hidup. Kekuatan akidah yang tertanam menuntun kita untuk senantiasa berharap, bergantung, tawakal, ridho, dan sabar terhadap ketentuan Allah. Semakin banyak kita diuji, semakin sering kita berada dalam kesukaran dan kesedihan, maka semakin kuat jiwa kita dan semakin dekat kita kepada Allah. “Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon, mohonlah hanya kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi)

Inilah kebahagiaan. Rasa yang tak dapat dimiliki oleh orang-orang yang tak kenal baik dengan Tuhan-nya. Seorang mukmin senantiasa bahagia dalam hidupnya karena ia tahu betul tujuan hidupnya, hendak kemana, untuk apa, dan mengapa dia ada di dunia ini. Ia sangat paham apa yang harus dilakukan semasa Allah memberikan nafas untuknya. “Tidakkah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56). “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban?” (Al-Qiyamah: 36). “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 36).

Marilah kita bahagiakan diri kita dengan akidah yang benar. Wallahu’alam bishawab.


#kulsapMJR-SJS, Maret 2015


image source: http://www.happyfacephotography.com/happiness-is-like-a-jam/

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

 
Support : facebook | twitter | a-DHA White Series
Copyright © 2013. Moving Forward - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger