Indonesia
memiliki produk olahan pangan lokal yang sangat beragam, baik yang berbentuk
makanan utama, snack ringan, maupun minuman. Diversifikasi pangan ini biasanya
berasal dari bahan baku utama singkong, ubi jalar, sagu, jagung, talas,
buah-buahan, sayur-sayuran, rempah-rempah, maupun kacang-kacangan. Sayangnya
pangan lokal kurang diminati di negeri sendiri. Perubahan gaya hidup, sosial
budaya, perkembangan ekonomi, kebiasaan masyarakat makan di luar, gencarnya
promosi makanan cepat saji dan makanan instan telah menggeser kedudukan pangan
lokal di negeri ini.
Sebagian
besar masyarakat Indonesia lebih familiar dengan produk asing dibandingkan
pangan lokal. Hal ini dipicu oleh pergolakan besar dalam cara pandang dan gaya
hidup manusia secara umum. Munculnya jaringan toko ritel yang bersamaan dengan
penggunaan supermarket dan convenience store telah mengubah saluran pemasaran
produk makanan secara drastis. Pada fase ini sebagian besar konsumenpun beralih
untuk berbelanja di toko ritel modern karena menyediakan pilihan produk yang
lebih variatif dan praktis.
Seperti
dilansir di worldbank.org bahwa pasar ritel modern sedang marak di Indonesia, pertumbuhannya
mencapai 20% per tahun sejak dicabutnya pembatasan ritel pada tahun 1998.
Sumber yang sama menyebutkan bahwa pasar swalayan menguasai 30% ritel makanan
di Indonesia. Pesatnya pertumbuhan teknologi dan usaha pengolahan makanan pada
berbagai skala menuntut pasar yang lebih kuat dan luas untuk menyerap banyaknya
output yang dihasilkan. Sejumlah perusahaan pemasaran menangkap ini sebagai
peluang sehingga lahirlah jaringan toko ritel modern. Di Indonesia terdapat
beberapa jenis toko ritel modern, yakni minimarket, hypermarket, supermarket,
dan convenience store. Perbedaannya terletak pada luas lahan, omset bulanan,
pelayanan, dan jumlah barang yang diperdagangkan.
Tahun
2004, market share omset ritel pasar modern mencapai 70,5% dari total omset
ritel modern di Indonesia dan meningkat menjadi 78,7% pada tahun 2008 dan terus
mengalami peningkatan hingga saat ini. Berdasarkan data AC Nielsen Asia Pasific
Retail and Shopper Trend 2005 sebagaimana dikutip oleh Euis Sholiha (2008)
menyebutkan bahwa berdasarkan analisis rasio keinginan masyarakat di negara
Asia Pasifik (kecuali Jepang) menunjukkan bahwa kecenderungan masyarakat untuk
berbelanja di pasar tradisional menurun sedangkan keinginan masyarakat untuk
berbelanja di pasar modern cenderung meningkat sebanyak 2% per tahun.
Fakta
lain tentang pasar modern menunjukkan bahwa daya serap ritel modern terhadap
produk UKM dalam negeri masih rendah, yakni sekitar 30-40% sampai tahun 2014.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hendri Hendarta, Ketua Asosiasi Penguasan
Ritel Indonesia (APRINDO) Jawa Barat. Produk UKM yang diserap antara lain
makanan, minuman, hasil pertanian, serta hasil kerajinan industri rumahan.
Tidak dijelaskan secara rinci berapa persen daya serap ritel khusus untuk
produk pangan. Dengan kata lain bahwa produk ritel modern didominasi oleh
produk Multinational Company atau bahkan produk impor. Maka tidak mengherankan
jika pangan lokal kurang diminati karena keberadaannya di ritel modern juga
masih sedikit dan bisa jadi kalah bersaing dengan produk dari luar.
Peluang
produk lokal untuk masuk ke ritel modern sebenarnya sangat terbuka lebar sejak
dikeluarkannya Peraturan Menteri
Perdagangan No. 70/M-DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, yang mewajibkan pusat
perbelanjaan dan toko modern untuk menjual 80% produk lokal atau produk buatan
Indonesia. APRINDO secara tegas mengatakan sangat terbuka terhadap
produk lokal khususnya dari UKM. Bahkan PT Carrefour yang berpartisipasi dalam
acara Pameran Pangan Nusa 2014 menargetkan untuk dapat menyerap 200-300 produk
UKM potensial.
Kendala
yang dihadapi UKM pengolahan makanan untuk menembus pasar modern adalah
lemahnya daya saing produk, meliputi kualitas rasa, kemasan, dan kontinuitas.
Perwakilan dari PT Carefour mencontohkan bahwa beberapa produk dari peserta
pameran telah memenuhi standar mereka namun belum mampu memenuhi pasokan yang
kontinyu mengingat ritel modern sangat menghindari kekosongan produk.
Syarat
utama produk untuk masuk ke pasar modern adalah memenuhi Standar Nasional
Indonesia (SNI), nilai pangan, dan nilai gizi. Sesuai dengan UU Perlindungan
Konsumen, maka ritel modern tentu sangat bertanggungjawab terhadap kualitas
produk yang dipasarkan. Hal ini menuntut pordusen makanan untuk berinovasi
dalam meningkatkan daya saing produk, yang meliputi kualitas produk, akses
pasar, dan kontinuitas.
Kualitas
produk makanan yang utama yakni rasa, nilai pangan, dan nilai gizi. Produk
berkualitas saja tentu belum cukup, maka disini dibutuhkan inovasi sehingga
pangan lokal yang dikenal sebagai pangan tradisional ini menjadi produk yang
kompetitif di pasar. Inovasi misalnya dapat dilakukan dengan melakukan
diversifikasi produk, rasa, dan kemasan. Riset pasar menjadi bagian yang
penting dalam hal ini sehingga produsen dapat menggali informasi dari para
pesaing, informasi pasar, dan lingkungan sehingga produsen dapat meluncurkan
produk yang memenuhi persyaratan pasar (ritel) dan preferensi kosumen. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa design kemasan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli sehingga pemilihan kemasan
menjadi bagian yang penting untuk meningkatkan daya saing produk.
Sebuah
produk yang baik dan berkualitas tidak akan menghasilkan penjualan jika tidak
tersedia di pasar. Maka mendekatkan produk kepada konsumen menjadi penting,
caranya dengan membuka akses pasar dan menghadirkan produknya di banyak tempat.
Salah satunya adalah bekerjasama dengan jaringan ritel modern yang kini
tersebar hampir di setiap daerah di Indonesia. Belum banyak produk UKM yang
mampu menembus ritel modern karena ketatnya syarat kualitas produk. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi produsen untuk menghasilkan produk
berkualitas. Distribusi pasar yang luas perlu didukung oleh infrastruktur yang
memadai, baik itu menyangkut bangunan rumah produksi, jalan, maupun alat transportasi.
Ini menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang memadai.
Selanjutnya
perlu dilakukan penguatan sistem sehingga supply chain manajemen dalam
penyediaan stok produk dapat berjalan dengan baik. Bagi perusahaan besar tentu
tidak sulit untuk memenuhi kualifikasi ini. Permasalahan akan terjadi di
tingkat UKM yang rata-rata merupakan perusahaan keluarga dan kemampuan modal
usaha terbatas. Disinilah perluanya intervensi pihak ketiga untuk membangun
kolaborasi antara jaringan UKM sejenis, jaringan ritel modern, pemerintah, dan
lembaga penelitian atau akademisi. Model ini salah satunya diterapkan oleh
Value Chain Center (VCC) Unpad yang berperan sebagai konsolidator dalam
menjembatani bertemunya berbagai stakeholder, yakni akademisi yang membantu
transfer teknologi kepada petani, UKM tani, perusahaan eksportir sebagai
pembuka akses pasar, dan pemerintah daerah sebagai penyedia infrastruktur untuk
memenuhi supply chain sayur dan buah segar untuk memenuhi permintaan pasar
ekspor ke Singapura.
Tahun
2015 Indonesia sudah dihadapkan pada ASEAN Free Trade Area (AFTA).
Negara-negara yang tergabung dalam AFTA harus menghilangkan semua halangan
tarif maupun non tarif untuk menciptakan kawasan perdagangan regional Asia
Tenggara yang benar-benar bebas. Contoh konkrit adalah penurunan tarif impor
menjadi 0-5% saja bahkan pada akhirnya keseluruhan tarif impor akan dihapuskan
menjadi 0%. Dengan 240 juta penduduknya Indonesia akan menjadi pangsa pasar empuk
dalam pertarungan AFTA. Dan tak bisa kita pungkiri bahwa produk impor telah
membanjiri pasar di negeri ini. Disisi lain AFTA akan membawa dampak positif
bagi produsen yang sudah efisien sehingga akses pasar internasional terbuka
lebar. Namun juga membawa dampak negatif bagi produsen yang belum efisien
sehingga produknya kalah bersaing dengan produk impor.
Dengan
demikian pemerintah dan segenap stakeholder terkait perlu segera menyikapi
perkembangan kompetitif produksi dunia, khususnya untuk menghadapi AFTA 2015 yang
tinggal menghitung hari. Adalah menjadi sebuah kewajiban untuk menjadikan manfaat
yang diperoleh AFTA nanti jauh lebih besar daripada ongkos yang dikeluarkan
negara untuk AFTA. Logikanya adalah jika produk lokal di ritel pasar modern
lokal saja ditolak bagaimana dengan di pasar internasional yang standar
kualitasnya lebih tinggi. Maka jika produk dalam negeri ingin kompetitif dengan
produk asing, upaya peningkatan daya saing produk lokal menjadi sebuah
keharusan dengan dukungan sistem dan investasi yang memadai.
Referensi
Anonim. Maraknya
Pasar Swalayan di Indonesia Mmebuka Peluang Baru bagi Pasar Tradisional Petani.
http://go.worldbank.org/UHDNNSE4Z1
Anonim. 2014. Pameran Pangan,
Carrefour Incar 300 Produk UKM. http://industri.bisnis.com/read/20140524/100/230553/pameran-pangan-carrefour-incar-300-produk-ukm
Euis Sholiha.
2008. Analisis Industri Ritel di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE)
Vol. 15 no.2, hal 128-142, ISSN: 1412-3126.
Maulana, Ginanjar Adi/Ria Indhryani.
2014. Serapan Produk UKM di Pasar Ritel Jabar Baru 40%. http://news.bisnis.com/read/20140424/77/222056/serapan-produk-ukm-di-pasar-ritel-jabar-baru-40
Pandin, Marina L. 2009. Potret Bisnis
Rite di Indonesia: Pasar Modern. http://www.academia.edu/1069998/Potret_Bisnis_Ritel_Di_Indonesia_Pasar_Modern
Perdana, Tomy and Kusnandar. 2012. The
Triple Helix Model for Fruits and Vegetables Supply Chain Management
Development Involving Small Farmers in Order to Fulfill the Global Market
Demand: a Case Study in “Value Chain Center (VCC) Universitas Padjadjaran”.
Procedia-Social and Behavioral Sciences 52 p.80-89.
Wulandari, Dinda. 2014. Pengusaha Ritel
Minta UKM Untuk Benahi Kemasan. http://m.bisnis.com/industri/read/20140306/12/208461/pengusaha-ritel-minta-ukm-harus-benahi-kemasan
Tulisan ini dimuat di http://beranda-miti.com/membangun-daya-saing-pangan-lokal-di-pasar-modern/
Hindari makan-makanan instan di supermarket. Meskipun makanan tersebut instan, namun tidak memiliki banyak nutrisi.
ReplyDeleteJika Anda ingin makan diluar pun harus berhati-hati sebab banyak yang menjual Packaging Makanan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Seperti styrofoam, plastik, dll.