Alhamdulillah, di pekan ini Allah banyak memberikan saya pelajaran tentang makna keikhlasan. Sungguh merupakan nikmat Allah yang tak terhingga dikala Allah masih memberikan hikmah di balik semua kejadian yang kita alami. Pernahkan kita bertanya apakah semua amal yang kita lakukan selama ini ikhlas karena Allah? Di beberapa tulisan sebelumnya, saya banyak bercerita tentang do’a dan sedekah. Belum lengkap rasanya kita melakukan dua amalan tersebut sebelum kita memahami makna ikhlas.
Menurut Hasan Al Banna, seorang al akh yang ikhlas adalah yang mengorientasikan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya kepada Allah dengan mengharapkan keridhoan-Nya tanpa memperhatikan keuntungan materi, pestise, pangkat, popularitas, dan sebagainya. “Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Ikhlas merupakan buah kesempurnaan tauhid yang bertujuan untuk mengesakan Allah dalam beribadah. Dan riya merupakan lawan dari ikhlas yang harus kita jauhi.
Apa sih syarat diterimanya amal?
Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal sholih. “Sesungguhnya amal itu bergantung kepada niatnya...” (HR. Al Bukhori dan Muslim). Sedangkan syarat lain diterimanya amal adalah i’tiba Rasulullah, yakni melakukan amal yang memang sesuai dengan sunnah dan syariat. “Barangsiapa yang melakukan sebuah amalan yang tidak pernah aku perintahkan, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim). Kedua hadits tersebut merupakan tolak ukur perbuatan lahir dan batin. Artinya amal sholih yang kita lakukan harus berlandaskan niat yang benar, hanya untuk mengharap ridho Allah atau mengikhlaskan niat dan amal hanya karena Allah, bersikap ihsan (profesional), dan mengikuti petunjuk Rasulullah saw dalam pelaksanaannya.
Apa sih standar keikhlasan itu?
Lagi-lagi niat merupakan standar keikhlasan amal seseorang. Apabila niatnya benar, maka amalnya pun akan benar. Apabila niatnya rusak, maka amalanya pun akan menjadi sia-sia. Beberapa amalan yang harus kita waspadai dalam hal keikhlasan ini adalah sedekah, berperang (jihad), berdo’a, dan berdakwah.
1. Sedekah. Menurut Hasan Al-Banna, seseorang yang bersedekah dikatakan berkorban di jalan Allah jika: tangan kiri tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan, tidak menghina dan mencaci maki orang yang diberi, tidak menampakkan dan bersombong diri dengan apa yang diberikan, tidak menyepelekan orang lain dengan apa yang telah ia berikan. Terkadang ada yang mengeluarkan hartanya hanya untuk ketenaran, ingin dilihat orang lain, ingin dikatakan dermawan, dsb.
2. Berperang (jihad). Jika perang yang ia lakukan karena Allah, maka ia tidak akan mengincar harta rampasan perang, tidak mengejar ketenaran dengan ikut berperang, bukan untuk disebut sebagai pemberani atau pahlawan, bukan pula untuk menghinakan orang lain, bukan pula untuk mengokohkan kedudukannya. Apabila ia terbunuh, maka ia syahid. Jika ia hidup, maka ia akan hidup dalam kemuliaan. Berperang yang dilakukan bukan karena Allah akan menjadi amalan yang sia-sia dan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
3. Berdo’a dan berdakwah. Manusia semuanya berdo’a, sebagian menghabiskan waktu untuk berdakwah, mengorbankan waktu, tenaga, serta hartanya untuk berdakwah. Jika ia melakukan hal tersebut karena mengharap ridho Allah dan kecintaan untuk menyampaikan hidayah kepada orang lain, ia termasuk dai yang shodiq (jujur) dan berhasil. Namun jika itu dilakukan karena riya, sum’ah (ingin didengar orang), ingin terkenal, ingin mendapatkan keuntungan duniawi, atau karena lainnya, maka ia termasuk da’i yang merugi.
Lalu apa sih indikasi keikhlasan amal?
Keikhlasan memiliki beberapa indikasi yang tampak dalam diri seseorang, yakni:
1. Takut terkenal. Orang yang ikhlas akan takut terkenal apalagi jika mereka memiliki banyak kelebihan. Ketenaran bukanlah sesuatu yang tercela karena para nabi dan para sahabat nabi pun adalah orang-orang yang terkenal. Namun, ketenaran akan berubah menjadi tercela jika dicari-cari atau dibuat-buat oleh yang bersangkutan dengan harapan mendapat penghargaan dari orang lain. Lalu bagaimana dengan kebiasaan para aktivitas dakwah yang memposting kegiatan aktivitas pribadi dan mungkin dakwahnya di jejaring sosial?
2. Menuntut dirinya agar selalu berada di samping Allah. Mereka yang terkagum-kagum dengan amalannya sendiri, mengungkit-ngungkit amal yang telah dilakukannya dan sellau ingin dipuji dengan amal yang dilakukannya, sangat jauh dengan makna keikhlasan.
3. Beramal secara diam-diam. Muadz bin Jabal berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya riya termasuk perbuatan syirik. Barang siapa yang memusuhi wali Allah, berarti ia menantang perang dengan Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang baik, bertaqwa, dan bersembunyi. Yaitu orang-orang yang jika tidak ada tidak dicari, jika sedang hadir tidak dipanggil, dan tidak dikenal. Hati mereka adalah lentera (cahaya) penerang yang mengeluarkan dari malam yang gelap gulita.” (HR Ibnu Majah)
4. Tidak mementingkan jabatan. Orang yang ikhlas tidak peduli berposisi sebagai atasan atau bawahan, mereka akan bekerja secara profesional. Khalid bin Walid adalah sosok yang patut kita teladani. Semangat jihadnya tidak berkurang tatkala jabatannya sebagai panglima diturunkan menjadi parjurit biasa. Ia tetap berjuang di bawah komando Abu Ubaidah bin Al Jarrah, panglima yang menggantikan dirinya.
5. Mencari ridho Allah walaupun manusia membencinya. Barangsiapa yang mencari ridho Allah tatkala manusia membencinya, Allah akan meridhoinya dan orangpun akan ridho kepadanya.
6. Menjadi orang yang sabar. Walaupun cobaan datang silh berganti, perjuangan harus tetap ditegakkan dan semua itu dilakukan hanya untuk meraih ridho Allah.
7. Selalu memberikan kebaikan. Seorang dai yang ikhlas adalah yang selalu berusaha untuk memberikan kebaikan. Ia tidak pernah berharap dari seseorang.
8. Mencintai saudaranya karena Allah. Diantara indikasi keikhlasan adalah rasa cinta seseorang kepada saudaranya karena Allah. Ia tidak membenci seseorang kecuali kepada sifatnya dan kecuali bahwa orang tersebut adalah musuh Allah dan Rasul-Nya.
Penyakit hati lebih berbahaya daripada penyakit fisik karena ia menggerogoti keikhlasan, menggugurkan pahala, dan menjauhkannya dari jalan dakwah. Penyakit hati akan selalu ada dalam diri kita. Oleh karen itu, kita harus memeranginya dengan kekuatan iman, ketakwaan, dan iman. Kita harus senantiasa sadar, selalu waspada, dan mengontrol niat dan keikhlasan agar tidak mudah terserang penyakit hati.
Dahsyatnya kekuatan do’a dan amal yang ikhlas
Setelah kita memahami makna ikhlas, syarat dan berbagai indikasinya, maka kewajiban kita saat ini adalah membersihkan hati kita agar meluruskan semua aktivitas, do’a, dan amal yang kita lakukan hanya untuk mengharap ridho Allah. Kalaupun karena amal, do’a dan sedekah kita ada jabatan yang diamahkan, ada pemberian Allah berupa pelebihan material rezeki, tanpa sengaja menjadi terkenal, ada kemudahan pada setiap urusan kita, maka itu adalah semata-mata buah atau hadiah dari keikhlasan kita dalam beramal.
Kita membutuhkan do’a yang tulus dan ikhlas sebagaimana yang pernah dilakukan tiga orang yang terjebak di dalam goa. Mereka meminta agar bisa keluar dari goa yang mulutnya tertutup batu. Batupun bergeser sedikit ketika orang pertama selesai berdo’a, batu kembali bergeser lebih banyak ketika orang kedua selesai berdo’a, dan pintu goapun terbuka lebar tatkala orang ketiga selesai berdo’a dengan mengatakan: “Ya Allah, jika aku mengerjakan semua amalan itu karena mengharapkan keridhoan-Mu, keluarkanlah kami dari sini.”
Mahabesar Allah. Para da’i pun harus melakukan hal seperti ini. Kekuatan do’a pada waktu sahur dan kejujuran dalam ucapan dan amal akan menjadi wasilah (sarana) pertolongan Allah. Semoga Allah memberikan kelapangan jalan untuk kita bahwa sesungguhnya do’a dan amal sholih memiliki kekuatan dahsyat yang dapat menyelamatkan seseorang dari kesulitan yang dihadapi.
source: Hasan Al Banna, Risalah Taklim kedua: Al-Ikhlas
0 komentar:
Post a Comment