Dakwah adalah mega proyek peradaban yang sangat besar untuk diukur dengan aktivitas apapun di dunia. Untuk kemenangan dan eksistensinya tentu saja dibutuhkan keterlibatan banyak SDM diseluruh dunia, seluruh lapisan masyarakat dan berbagai sarananya (sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan sektor publik lainnya) serta segala hal yang bisa diberikan sebagai kontribusi terhadap dakwah (waktu, tenaga, materi dan lain sebagainya). Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang utuh oleh setiap aktivis dakwah tentang mihwar dakwah dan seluruh karakteristiknya.
Mihwar Dakwah dan Karakteristiknya
Ust Anis Matta, Lc, dalam bukunya ‘Menikmati Indahnya Demokrasi’ memaparkan bahwa pekerjaan-pekerjaan dakwah untuk menyelesaikan peradaban dilakukan dalam empat tahap. Pertama: mihwar tandzimi yang berorientasi untuk membangun kekuatan dan organisasi yang solid sebagai kekuatan yang akan menggerakan roda dakwah. Kedua: mihwar sya’bi yakni membangun basis sosial yang luas dan merata di seluruh lapisan masyarakat sebagai pendukung kekuatan dakwah. Perbedaan pada kedua mihwar tersebut adalah bahwa Mihwar tandzimi bertujuan pada peningkatan kualitas kader dakwah, sedangkan mihwar sya’bi bertujuan pada peningkatan kuantitas kader dakwah.
Ketiga: mihwar muasasi, pada fase ini kader disebar ke seluruh institusi/lembaga publik (politik, ekonomi, pendidikan, sosial, industri, perdagangan, dan lain-lain). Dengan begitu, terbentuk jaringan aktivis dakwah diseluruh lembaga yang ada dan semakin memperluas wilayah dakwah dan mengokohkan eksistensinya. Di sini, dakwah mulai memasuki wilayah pekerjaan yang sangat luas dan rumit. Karena itu diperlukan pengelompokan kerja, pembagian kader yang proporsional serta meng-upgrade kemampuan dan potensi kader sehingga memiliki multi talenta tanpa terlepas dari spesialisasinya. Kita membutuhkan institusi ekonomi untuk mewadahi seluruh aktivitas ekonomi, kita membutuhkan institusi politik untuk mewadahi seluruh aktivitas politik, kita juga membutuhkan institusi pendidikan, sosial, lembaga riset dan lain-lain untuk mewadahi seluruh aktivitasnya. Seperti halnya dalam konsep trilogi dakwah kampus, maka disini juga diperlukan adanya sinergisitas di semua institusi dalam setiap agenda-agenda dakwah. Selain institusi yang sudah dibentuk oleh kader, maka kita juga wajib untuk mengisi institusi-institusi yang sudah ada di masyarakat maupun di pemerintahan. Kaidah fikih menjelaskan maa laa yatimmu al wajibu illa bihi fahuwa al wajibu (sesuatu yang tidak sempurna bagi suatu kewajiban kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib). Artinya jika pada awalnya masuknya kader ke dalam institusi-institusi yang ada bukan merupakan suatu kewajiban, maka jika dengan masuknya kader dakwah ke dalam setiap institusi akan mempercepat (menyempurnakan) tegaknya peradaban Islam di muka bumi, maka hukum masuknya kader dakwah ke dalam institusi yang ada menjadi sesuatu yang wajib dan harus diupayakan dengan cara-cara yang syar’i.
Keempat, mihwar dauli. Yakni dakwah yang sudah sampai pada wilayah institusi negara dan sudah dominan. Penguasaan terhadap negara sangat dibutuhkan, sebab institusi negara merupakan sarana yang sangat strategis untuk melegalkan semua kebijakan terhadap seluruh lapisan masyarakat dan institusi sesuai dengan hukum Allah. Kaidah yang harus dipahami di sini adalah bahwa negara dalam hal ini bukanlah tujuan akhir dari dakwah, meski hanya ada empat fase yang harus dilewati untuk daulah. Negara hanyalah wasilah (sarana) untuk mencapai tegaknya Islam di bumi Allah ini.
Dakwah Akademis di Mihwar Dauli
Harus kita sadari bahwa pada setiap pergantian mihwar akan selalu ada sikap kontradiktif dari kalangan kader sendiri. Disatu sisi banyak kader yang menanggapi secara positif dan menggenjot semangatnya untuk segera meraih masa depan, namun disisi lain ada juga kader yang pesimis dengan sederet rencana strategis yang disodorkan jamaah bahkan bersikap kontradiktif. Pada tikungan tajam seperti ini, setiap kader harus mampu menyikapi dan memahami semuanya dengan bijak dan tepat. Problemnya, sebenarnya sederhana jika ditilik dari pertanyaan beberapa kader yang merasa pesimis untuk melaju ke mihwar dauli, sanggupkah kita dauli dengan kondisi kader seperti ini? Ya problem klasik namun sebenarnya hal yang sangat urgen, yakni masalah SDM kader. Mampukah kader mengisi sekian institusi yang ada dengan sederet tuntutan profesionalisme? Jawabannya tentu saja mampu, tinggal bagaimana kemudian komitmen kader untuk mengusahakan dan merealisasikannya.
Dalam kondisi semacam ini, logika dakwah tidak bisa lagi hanya dibatasi semangat “penyaringan” yang menuntut seleksi ketat atas mereka yang akan masuk ke dalam barisan dakwah, tetapi lebih pada “penjaringan” untuk siapa saja yang mau bergabung dalam barisan dakwah harus diakomodasi. Hal ini memang bukan pilihan yang mudah, tapi juga tidak ada pilihan lain jika kita memang menginginkan dakwah ini eksis. Contohnya yang sekarang lagi menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat dan mungkin juga kader adalah penayangan iklan PKS yang katanya itu merupakan konsep rekonsiliasi untuk merangkul semua kalangan. Ada kaidah yang juga harus dipahami oleh kader dalam menyikapi hal ini, yakni tsawabit dan mutaghoyirah. Dakwah dan tarbiyah adalah tsawabit, manhaj yang tetap dan tidak bisa berubah, sedangkan metode, strategi, uslup dan sarana bersifat mutaghoyirah (berubah-ubah sesuai kebutuhan). Dalam hal ini, konsep rekonsiliasi juga merupakan strategi untuk ekspansi dakwah dengan cara menyentuh semua kalangan untuk membangun peradaban global Islam.
Kembali ke pertanyaan tadi, mampukan kader mengisi setiap institusi yang ada? Maka di sini peran dakwah akademis sangat urgen bagi pembentukan insan yang mampu mengintegrasi-interkoneksikan Islam dengan ilmu pengetahuan. Meng-upgrade spesialisasi dan potensi keilmuannya dengan tetap komitmen pada nilai-nilai yang Islami. Termasuk dalam tuntutan formalitas sebenarnya, yakni jenjang pendidikan kader dakwah sebagai prasyarat untuk memasuki setiap institusi yang ada. Lihat saja dibeberapa lowongan pekerjaan yang disediakan baik oleh lembaga swasta maupun negeri, di semua sektor terutama sektor strategis (lembaga riset, pendidikan, industri, dsb) minimal harus S1, bahkan bisa jadi untuk beberapa tahun ke depan jenjang pendidikan minimal untuk memasuki sektor publik harus S2 atau S3. Selain tuntutan kapasitas keilmuan, jenjang pendidikanpun terkait dengan ‘nilai jual’ kader dakwah dihadapan publik, lebih khusus masyarakat. Jika zaman dahulu orang dihormati karena gelar kebangsawanannya, maka di zaman sekarang orang dihormati karena gelar akademik yang disandangnya. Aa Gym mengatakan bahwa muslim yang prestatif bukan hanya dinilai dari knowlwdge-nya saja, bukan hanya dilihat dari intelegence-nya saja. Muslim yang prestatif adalah muslim yang mampu mensinergikan antara ilmu, iman, dan amal. Konteksnya, akademik oke, tarbiyah oke, managerial oke, dakwah oke. Inilah output yang ingin dibangun dari adanya paradigma dakwah kampus, yakni membentuk aktivis dakwah kampus tawazun (ADK tawazun).
Sejak ilmu pengetahuan dan teknologi marak dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, kemajuan peradaban umat manusia sangat terasa. Pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi selain menimbulkan dampak positif juga ada dampak negatifnya, jika pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak didasarkan pada asas manfaat dan kemaslahatan umat manusia. Banyak terjadi sekarang ini pengembangan teknologi yang justru merusak akhlak manusia, pengembangan industri yang kurang memperhatikan chemical safety sehingga laju pencemaran lingkungan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Dari sebab itulah, timbul masalah yang semakin meluas, antara lain pemanasan global, hujan asam (acid rain), menipisnya lapisan ozon, pencemaran bahan radioaktif, dan lain-lain yang sangat merugikan manusia. Melihat beberapa fenomena di atas menunjukan bahwa tantangan para cendikiawan muslim ke depan sangatlah kompleks, belum lagi kalau ditinjau dari sudut ekonomi riba, politik yang menghalalkan segala cara, dan lain-lain. Oleh karena itu dibutuhkan para paraktisi hukum, ilmuwan, akademisi, pelaku industri, ekonom dan masyarakat yang paham akan urgensi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan umat manusia serta mampu mengaflikasikannya dengan tetap memegang teguh nilai-nilai Islam. Untuk mencapai semua itu dibutuhkan sarana yang sistematis untuk mencetak generasi seperti itu, maka disinilah peran dakwah akademik sangat dibutuhkan.
Sebagaimana kita ketahui, umat Islam memiliki romantika sejarah yang cemerlang dalam pengembangan, penemuan dan diversifikasi ilmu pengetahuan di abad ke-7 sampai ke-15 (abad pertengahan). Namun seiring dengan kemunduruan politik umat Islam di awal abad ke-15 dengan munculnya kebangkitan kaum non muslim seperti nasrani dan yahudi saat zaman renaisance, perkembangan sains atau ilmu pengetahuan dan teknologi umat Islam lambat laun mengalami kemunduran. Temuan-temuan ilmuwan muslim, buku, kitab, manuskrip dan ribuan rumus dan formula tak diketahui rimba belantara nya saat terjadi zaman yang oleh orang barat dikenal dengan renaisance itu.
Dalam kurun abad berikutnya sampai sekarang, perkembangan IPTEK di kalangan umat Islam menjadi mundur, sementara dalam waktu yang sama gelombang ilmuwan non muslim muncul di negeri barat dan timur dan bahkan menimbulkan pengaburan ilmu dari akar religi, sehingga tidak kita temukan lagi unsur memuji kebesaran Allah SWT, unsur Islam, tauhid dll dalam diktat-diktat kuliah dan sekolah di zaman itu. Terlebih lagi dengan perkembangan ilmu sosial yang rentan dengan deislamisasi seperti ekonomi yang sudah digeser oleh teori ekonomi kapitalis, politik yang digeser oleh semua teori politik dari barat, demikian pula psikologi, filsafat, sastra dan budaya. Hingga akhirnya, munculah arus besar kebangkitan ilmuwan muslim di abad 21 ini. Banyak mahasiswa dan ilmuwan muslim dari berbagai dunia ketika berada dalam kampus melakukan riset atau penelitian, walaupun secara kuantitas masih kalah, namun ada juga yang memiliki prestasi kelas regional dan internasional. Dakwah kampus yang memiliki puluhan ribu mahasiswa sebagai aset iron stock juga dituntut untuk melanjutkan kebangkitan ghiroh ilmuwan muslim ini. Lagi-lagi disini kita melihat adanya tuntutan yang sangat urgen dan nyata bagi pengembangan dan eksistensi dakwah kampus akademis.
Termasuk hal yang sangat penting adalah SDM yang profesional dan stok ahli dalam bidang teknologi. Saya tertarik dengan diskusi di metro TV yang menghadirkan delegasi PKS dan Golkar yang mengangkat isu konservasi Sumber Daya Alam di Indonesia. Saat ini, Indonesia sedang mengalami krisis energi, dan krisis ini sebenarnya telah terjadi semenjak beberapa tahun silam. Ditambah lagi menipisnya pasokan minyak dan gas ke Indonesia yang menyebabkan terjadi kelangkaan dimana-mana. Saat itu, ada audiens yang menanyakan kepada PKS apakah mungkin Indonesia mengembangkan teknologi nuklir sebagai alternatif cadangan energi untuk masa depan, mengingat bahwa negara-negara maju pasokan energinya sebagian besar berasal dari energi nuklir. Jawaban yang cukup dilematis mungkin saya katakan karena saya tidak menangkap kata iya atau tidak dari jawaban ustadz Tifatul Sembiring saat itu, yakni untuk pembangunan PLTN dilihat dulu kemungkinan manfaat dan mudhorotnya, karena mengingat efek radiasi nuklir adalah efek jangka panjang.
Saya sepakat dengan jawaban ustadz Tifatul Sembiring, karena energi nuklir memang tidak dapat dipisahkan dengan penampungan limbah nuklir. Tapi dengan kondisi seperti ini (krisis energi yang berkepanjangan dan sangat mengganggu stabilitas perekonomian negara) apakah energi nuklir masih suatu hal yang perlu ditakutkan oleh masyarakat? Wajar memang jika kemudian timbul persepsi yang buruk di masyarakat tentang nuklir karena kebocoran instalansinya maupun karena isu senjata pemusnah masal yang mungkin memang ada dan menjadi big proyek nya negara adidaya. Namun kita lihat sisi positifnya, mengingat energi fosil seperti minyak tanah, batu bara jumlahnya terbatas dan menimbulkan efek rumah kaca. Konon menurut para ahli bahwa pembakaran fosil secara besar-besaran merupakan salah satu sumbangan terbesar terhadap pencemaran lingkungan yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan terjadinya pemanasan global. Sedangkan energi nuklir tidak menimbulkan pencemaran bagi lingkungan kecuali limbah radioaktif yang bisa diatasi dengan daur strata yang dilakukan dalam sistem pertahanan berlapis sehingga instalasi pengolahan limbah aman dari potensi kebocoran.
Pemenuhan energi seperti ini merupakan tuntutan yang mau tidak mau harus diselesaikan. Tidaklah heran jika ada yang mengatakan bahwa kecukupan energi di suatu negara bisa menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan kepemimpinan seseorang dalam memimpin negara tersebut. Ini adalah salah satu tantangan yang harus dihadapi tatkala dakwah ini memasuki mihwar dauli. Lalu apa yang sebenarnya jadi masalah? Lagi-lagi masalah SDM. Jika seandainya rancangan tentang pengembangan energi nuklir telah matang digulirkan siapakah yang akan merealisasikannya? Tentu saja seharusnya umat muslim. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dikenal adanya applied ethic tentang bagaimana mengembangkan ilmu dan teknologi yang berbasis pada asas manfaat dan menekan sekecil mungkin dampak negatif yang mungkin ada dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai moral (akhlak). Disinilah wilayah garap dakwah akademis, meng-upgrade kader agar menjadi manusia yang unggul secara keilmuan dan ahli serta mampu menerapkan nilai-nilai etika dalam pengembangan teknologi.
Dari sederet pemaparan di atas, bisa saya simpulkan bahwa amanah dakwah akademis pada fase dauli akan semakin rumit dan kompleks. Sebab bukan lagi bergerak dalam tataran dakwah kampus akademis tapi telah menyentuh ranah yang lebih luas yakni fokus pada wilayah dakwah mihani (profesi) yang mau tidak mau harus mampu menghasilkan aktivis dakwah unggulan yang akan menunjang pemerintahan yang sudah ada. Wallahu’alam bi shawab.
0 komentar:
Post a Comment