Home » , » Indonesia Bangkit dengan IPTEK

Indonesia Bangkit dengan IPTEK


Saya terinspirasi membuat tulisan ini dari materi ceramah subuh yang disampaikan oleh bapak Ahmad Budianto, M.Si. [peneliti Badan Teknologi Analisis Atom Nasional (BATAN) Yogyakarta] tentang pentingnya penguasaan IPTEK oleh bangsa Indonesia khususnya kaum muda.  Sebelum membahas lebih jauh, saya mencoba memaparkan fenomena yang patut kita analisa bersama.

Dalam ceramahnya beliau mengawali dengan memaparkan beberapa kondisi krisis di Indonesia, diantaranya adalah krisis energi dan upaya pemenuhan energi alternatif di masa yang akan datang. Dewasa ini, listrik merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi seluruh bangsa di manapun, termasuk di Indonesia. Bisa dipastikan bahwa setiap aktivitas manusia akan berhubungan dengan listrik, sehingga bisa dikatakan bahwa tiada hari tanpa listrik.  Bahkan di tahun 2025 diprediksi bahwa kebutuhan energi di indonesia 3 kali lebih besar dari sekarang. Bisa dibayangkan betapa besar kebutuhan energi dimasa yg akan datang, padahal saat inipun baru sekitar 70% saja kebutuhan listrik di Indonesia terpenuhi. Problem yg kemudian muncul adalah bagaimana upaya pemenuhan kebutuhan energi yg semakin tinggi tersebut di tengah berbagai krisis yg melanda Indonesia terutama krisis ekonomi dan semakin terkisisnya sumber daya alam di Indonesia.
Energi listrik di Indonesia saat ini berasal dari pembangkit listrik konvensional (PLTA, PLTU, PLTG). Bahan bakar pembangkit listrik konvensional berasal dari bahan bakar fosil (batu bara, minyak dan gas). Dampak dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut akan mengeluarkan gas COx, SOx, NOx, dan debu logam berat. Sisa pembakaran tersebut selanjutnya akan teremisikan ke udara dan berpotensi mencemari lingkungan yakni acid rain dan global warming. Kondisi ini memetakan arah agar bangsa indonesia melakukan inovasi untuk menghasilkan pembangkit listrik lain yang lebih ramah lingkungan. Yang kemudian sedang dilakukan pengkajian adalah energi alternatif dengan sumber pembangkit tenaga nuklir.
Prinsip kerja PLTN pada dasarnya sama dengan pembangkit listrik konvensional, yaitu air diuapkan di dalam suatu ketel raksasa melalui pembakaran. Uap yang dihasilkan dialirkan ke turbin yang akan bergerak apabila ada tekanan uap. Perputaran turbin digunakan untuk menggerakan generator, sehingga menghasilkan tenaga listrik. Perbedaan dengan pembangkit listrik konvensional terletak pada bahan bakar yang digunakan. Jika pembangkit listrik konvensional bahan bakarnya menggunkan bahan bakar fosil, sedangkan pembangkit nuklir menggunakan bahan uranium.  Menurut teori fisika, energi yang dihasilkan dari reaksi fisi 1 gram uranium setara dengan energi yang dihasilkan dari 3 juta gram batu bara. Dari reaksi fisi 1 g uranium ini mampu menghasilkan listrik sebanyak 1 juta watt. Jika 1 rumah rata-rata memasok kebutuhan listrik per hari 1000 watt, maka dari 1 gram uranium ini dalam sehari mampu memasok kebutuhan listrik 1000 rumah.
Selain itu, proses pembangkit dengan uranium ini tidak melepaskan partikel pencemar seperti NOx, SOx atau debu logam berat ke lingkungan. Perancis misalnya, dalam kurun waktu 12 tahun dapat mengurangi emisi gas CO2 sampai 60 juta ton sejak mengganti pembangkit listrik konvensional dengan PLTN. Limbah radioaktif yang dihasilkan dari pengoperasian PLTN berupa elemen bakar bekas dalam bentuk padat yang bisa disimpan di dalam penampungan limbah PLTN sebelum dilakukan penyimpanan secara lestari.
Anomali masyarakat terhadap dampak buruk nuklir sepertinya sangat besar, salah satu contoh misalnya penentangan yang sangat keras dari masyarakat beberapa tahun yang lalu terkait dengan rencana pembangunan PLTN di Gunung Muria, Pati. Wajar jika ini terjadi, disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang sistem keamanan reaktor nuklir. Kebocoran reaktor Chernobyl dan bahaya limbah radioaktif sepertinya memberikan dampak yang sangat buruk bagi perspektif masyarakat tentang nuklir. Yang kemudian menjadi faktor penting lagi penyebab terhambatnya perumusan pembangunan PLTN adalah SDM, jika Indonesia suatu saat siap membangun PLTN siapakah yang akan menggarap proyek ini??
Selain masalah krisis energi, pemanfaatan sumber daya alam di Indoneisa juga patut kita renungkan. Tidak semua negeri di dunia ini memiliki kekayaan alam yang begitu besar dan lengkap seperti di Indonesia. Semua tersedia di bumi kita. Dari wilayahnya yang demikian luas, mengandung berbagai kekayaan alam yang sangat besar. Kesuburan tanah dan sumber mata air yang tanpa henti, sehingga tumbuhan apapun dapat tumbuh. Di dalam tanahnya pun terkandung berbagai kekayaan bahan-bahan mentah yang siap diolah untuk dijadikan berbagai sumber komoditi bagi kemakmuran negeri ini. Namun apa yang terjadi dengan kondisi negeri ini sungguh sangat berbeda. Bangsa Indonesia banyak yang masih berada di bawah garis kemiskinan, krisis ekonomi tetap melanda Indonesia. Bangsa Indonesia tetap miskin ditengah kekayaan alamnya. Apa yang sesungguhnya terjadi??
Saya ambil beberapa contoh sebagaimana yang disampaikan oleh bapak Ahmad Budianto, M.Si. dalam ceramahnya. Salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia adalah pasir besi. Pasir besi, selain kaya akan unsur besi juga kaya unsur silikon sebagai salah satu bahan dasar pembuatan bahan-bahan elektronik. Setiap tahunnya Indonesia mengeruk pasir besi dalam jumlah yang banyak dan diekspor ke luar negeri. Dengan teknologi yang dimiliki di negara-negara tersebut, unsur-unsur seperti silikon dipisahkan dari pasir besi. Bahan-bahan dasar tersebut dibuat produk baru, sehingga menghasilkan alat-alat elektronik seperti HP, TV, transistor, dll yang di ekspor lagi ke Indonesia dalam jumlah yang cukup besar. Berapa harga barang-barang elektronik tersebut?? Sebandingkah dengan harga ekspor bijih besi Indonesia ke luar negeri??
Kasus yang lain, Kalimantan di kenal sebagai provinsi terbesar penghasil kelapa sawit. Setiap tahunnya ribuan ton kelapa sawit dihasilkan dan diolah menjadi minyak mentah kelapa sawit. Karena keterbatasan teknologi pengolahan, minyak mentah ini diekspor ke luar negeri dalam jumlah yang cukup besar juga setiap tahunnya. Salah satu negara yang ”rajin” mengekspor minyak sawit mentah dari Indonesia adalah Belanda, Jerman dan Cina. Di negara tersebut, minyak ini diolah menjadi minyak murni, fat acid (asam lemak) dan di Cina dikembangkan lagi menjadi sabun ramah lingkungan. Sangat inovatif produk dari Cina ini, dimana sabun yang dihasilkan berbeda dari sabun biasa yang kebanykan undegradable (sukar terdegradasi), busa sabun ramah lingkungan ini malah konon katanya bisa dimanfaatkan untuk pupuk. Produk-produk seperti minyak sawit murni, fat acid, dan sabun ramah lingkungan dipasarkan kembali di Indonesia dari hasil impor dari negera-negara tersebut. Berapa harga untuk produk tersebut?? Samakah dengan harga ekspor minyak sawit mentah??
Saya memaparkan satu case lagi. Di Tangerang Banten berdiri sebuah perusahaan keramik cukup besar di Indonesia milik perusahaan Korea. Bahan-bahan pembuat keramik seperti clay dan bahan campuran lain sebagian besar diperoleh dari daerah Sukabumi. Produk keramik yang berkualitas sebagian besar di ekspor ke luar negeri, sedangkan sisanya yang kualitasnya lebih rendah dijual di Indonesia. Keuntungan terbesar dari hasil penjualan tentu saja diambil oleh pemilik perusahaan yang notabene orang asing tersebut. Meskipun sedikit mengurangi angka pengangguran di Tangerang, namun sepertinya kurang sebanding juga dengan limbah sisa produksi yang mulai mencemari kota tersebut.
Beberapa fenomena di atas seharusnya membangkitkan motivasi kita untuk bangkit dari keterpurukan ini. Mengapa Indonesia tidak bisa keluar dari krisis ekonomi ditengah kekayaan alamnya yang melimpah? Hampir semua kondisi yang saya paparkan diatas terjadi karena keterbatasan penguasaan teknologi. Artinya sumber daya manusia ”ahli” dalam bidang IPTEK di Indonesia masih sangat minim. Kondisi ini diperparah oleh perhatian pemerintah yang masih cukup minim untuk space IPTEK yang belum mendapatkan posisi strategis. Berapa banyak karya IPTEK anak bangsa yang akhirnya dikembangkan di negara lain. Berapa banyak anak bangsa yang ”dibeli” oleh negara lain? Padahal jika suatu bangsa mau maju, maka IPTEK-nya juga harus maju. Kita tengok negara-negara yang mengalami kemajuan pesat pasca keterpurukannya, Jepang paska pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, Cina, Korea, IPTEK mendaptkan space startegis, SDM nya juga berkualitas, maka tidak heran jika perusahaan berbasis R&B (Research and Bussiness) mampu mendobrak perekonomian sampai skala internasional.
Apa yang seharusnya dilakukan bangsa Indonesia –terutama kaum muda-?? Berawal dari paradigma. Saya mengutip kata-kata pa Firman Alamsyah, M.Si. saat mengisi seminar kelembagaan akademik di UIN Yogyakarta ”If you want to make minor improvements, work on behavior or attitudes. But if you want to make great improvements, work on paradigm.” Intinya, setiap kita harus menyamakan paradigma bahwa upaya peningkatan kemampuan IPTEK adalah tugas kita semua. Sehingga setiap orang di Indonesia mampu memberikan sumbangan pemikiran dan partisipasi dalam upaya menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan IPTEK. Hal ini mensyaratkan adanya penguasaan kompetensi, mampu belajar profesional sehingga mampu memberikan kontribusi riil untuk masyarakat. Kaum muda harus menyadari bahwa kekuatan ilmu dan pemahaman adalah persyaratan mutlak kebangkitan bangsa. Ini memetakan arah agar kaum muda –khususnya mahasiswa- menyibukkan diri dengan kinerja yang produktif dan fokus mengembangkan potensi.  Satu hal yang tidak kalah penting, boleh saja bahkan disarankan kita belajar di negara maju dengan catatan harus kembali ke Indonesia dan memberikan kontribusi.

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

 
Support : facebook | twitter | a-DHA White Series
Copyright © 2013. Moving Forward - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger