Lanjutan bahasan tinjauan bedah hukum kadaver menurut fiqih. Tulisan ini saya rangkum dari pendapat salah satu rekan saya (alumnus mahasiswa IAIN Ar-Raniri Aceh) di milist diskusi virtual research laboratory MITI-Mahasiswa. Berikut petikannya:
Saya sempat memahami tentang persoalan ini. Jika dilihat dalam perspektif ilmiah maka hal ini adalah baik karena dapat mendatangkan kemaslahatan yg lebih besar. Namun dalam Islam, ada persolan2 yg memang sangat penting untuk diketahui terutama terhadap mayit, bahkan tatacara dan adab memperlakukan mayit saja diatur secara khusus dalam fiqh Islam. banyak pendapat mengenai persolan bedah mayat utk keperluan anatomi, saya lebih sepakat dengan pendapat dari ahlul hadist (karena latar pendidikan hadist..idealis sedikit...hehe) yang menolak tentang bolehnya membedah Mayat Muslim untuk keperluan praktik kedoteran, sedangkan mayat kafir dibolehkan menurut pendapat nasruddin al-albani dan ibnu hajar dalam fathul bari. pemahaman saya berdasarkan yg saya yakini, tanpa menyalahkan pendapat yg lain,,karena persoalan ini adalah persoalan furu'iyyah...maka lihatlah yang sesuai dgn dalil dan tanpa juga mengenyampingkan kemaslahatan. "Apabila berbenturan antara dua kemaslahatan maka di lakukan yang paling banyak maslahatnya juga apabila berbenturan antara dua mafsadah maka di lakukan yang paling ringan mafsadahnya" (Lihat Al Qowaid Al Fiqhiyah Syaikh As Sa'di hal : 45-48).
Alasan saya berdasarkan pada hadist yang bersumber dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dangan mematahkannya pada waktu hidupnya." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah) ini masih umum, lalu secara khusus 9kepada mayit mukmin) ada hadist yg lain, Rasululullah SAW, "Memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup."(HR Ahmad,Imam Malik). jika ada dua hadist yang menjelaskan pesoalan yg sama, maka dahulukan yang khash. ini pendapat umumnya ahlul hadist. namun, pendapat lain bisa dirujuk pada salah satu satu artikel yg ditulis oleh Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA (Purek I Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta) Hukum Jenazah untuk Praktikum Bedah.
Tema penggunaan jenazah sebagai objek penelitian, menurut pandangan penulis termasuk kasus baru yang jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Quran dan hadis (nash). Padanan eksplisit dalam nash pun tidak dijumpai. Sehingga tidak bisa dipakai metode qiyas (analogi). Kasus demikian, dalam kajian fikih, kata Munif, dicari solusinya dengan metode takhrij. Yakni, dicari analogi pada norma hukum yang dihasilkan lewat ijtihad karena tidak dipaparkan langsung oleh nash.
Dalam literatur fikih kontemporer, ditemukan dua pendapat yang berbeda. Pertama, pandangan mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek demikian itu boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad Bukhet al-Mith'i, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan: mengambil harta orang, misalnya permata, yang tersimpan di perut jenazah, dan menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk penelitian, katanya, tidak boleh (la yajuuz).
Pandangan keduanya merupakan hasil takhrij atas kajian pada ulama klasik. Berupa bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus: mengambil permata yang tersimpan di perut jenazah dan menyelamatkan janin. Dalam kasus mengambil harta dalam perut jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum atau almarhumah tidak meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak manusia harus didahulukan di atas hak Allah. Dalam mazhab Syafi'i, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat dilakukan secara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki. Sedangkan Ahmad bin Hanbal tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan Syafi'i berpendapat mubah. Sedangkan mazhab Maliki dan Hanbali melarang.
Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadis Nabi kepada penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari kuburan. "Engkau jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sama dengan merusak tulang seseorang yang masih hidup," sabda Nabi, diriwayatkan Malik, Ibn Majah, dan Abu Daud dengan sanad yang sahih.
Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadis itu secara mutlak, dalam kondisi apa pun. Sedangkan alasan pendapat yang membolehkan adalah darurat, seperti menyelamatkan janin dan mengambil harta. Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-Islamiyah, berkomentar terhadap hadis tadi. Menurut Syekh Abdul Majid, hadis itu berlaku bila tidak ada kemaslahatan lebih krusial (maslahah rajihah). Bila ada kemaslahatan lebih krusial yang ingin diraih, seperti menyelamatkan janin, maka termasuk pengecualian.
Menurut penulis, fatwa MUI Nomor 19, tanggal 5 Februari 1988, menyebutkan bahwa penyelidikan ilmiah terhadap mayat tidak dilarang oleh Islam. Setelah dipakai penyelidikan, mayat itu wajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20 tahun silam, itu sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-Dajwi. Sidang Komisi Fatwa MUI sendiri, membuat keputusan dengan beberapa klausul. Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia itu terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang yang hidup wajib memenuhi hak-hak jenazah. Salah satunya, menyegerakan jenazah dikuburkan.
Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas (muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan keilmuan dan mendatangkan maslahat lebih besar: memberikan perlindungan jiwa. Bukan untuk praktek semata.
Ketiga, sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnya dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan jenazah untuk penelitian harus dilakukan dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian telah selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Keempat, negara diminta membuat regulasi yang mengatur ketentuan dan mekanismenya.
Lebih lanjut beliau menambahkan tulisan tentang sejarah praktik bedah oleh ilmuan Islam.
Memenuhi pertanyaan lanjutan dari diskusi kita, saya menemukan sejarah pembedahan manusia dalam praktik kedokteran dirintis pada masa dinasti Murabitun di Andalusia abad 10-11 M.
Jika kita telusuri dalam sejarah peradaban Islam maka didapati bahwa peletak dasar-dasar ilmu bedah modern adalah oleh Al-Zahrawi (936 M-1013 M). Orang barat mengenalnya sebagai Abulcasis. Al-Zahrawi adalah seorang dokter bedah yang amat fenomenal. Karya dan hasil pemikirannya banyak diadopsi para dokter di dunia barat. “Prinsip-prinsip ilmu kedokteran yang diajarkan Al-Zahrawi menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di Eropa,” ujar Dr. Campbell dalam History of Arab Medicine.
Nama az-Zahrawi mungkin tidak asing bagi dunia kedokteran (terutama mahasiswa kedokteran), apalagi Ibnu Sina. Namun nama ibnu Zuhr mungkin belum sepopuler az-Zahrawi. Namun kontribusi dalam bedah eksperimental telah membawa namanya sebagai dokter yang luar biasa.
Nama lengkapnya Abdul Malik bin Abu Merwān 'Zuhr yang dikenal sebagai Ibnu Zuhr –di dunia Barat menyebutnya: Avenzoar- (lahir di seville Cordova, 1091-1161) adalah seorang dokter Muslim, apoteker, dokter bedah, parasitologist, sarjana Islam dan guru di Al-Andalus. Ia dikenal sebagai bapak pembedahan eksperimental pertama kali di dunia Islam. Ia memperkenalkan metode eksperimental ke ruang operasi, memperkenalkan metode pembedahan manusia dan otopsi, menemukan prosedur operasi tracheostomy, melakukan nutrisi parenteral pertama manusia dengan jarum perak, menemukan penyebab kudis, peradangandan parasit dalam tubuh. Kemahirannya dalam praktek medis ia peroleh dari ayahnya, Abu'l-Ala Zuhr (d.1131).ia berasalh dari keluarga bani Zuhr. Sebagaimana diketahui dalam sejarah bahwa Bani Zuhr,merupakan sebuah kabilah yang bersala dari Hijjaz yang telah melahirkan lima generasi dokter secara turun temurun.
Ibnu Zuhr menulis banyak karya dalam ilmu medis, namun karya yang paling terkenal adalah Kitab al-Taisir fi al-Mudawat wa al-Tadbir. Dalam kitabnya Al-Taisir, ia memperkenalkan metode eksperimental ke ruang operasi. Ia adalah yang pertama untuk menggunakan tes hewan untuk percobaan dengan prosedur bedah sebelum menerapkannya pada pasien manusia.Dia juga melakukan pembedahan pertama dan otopsi postmortem pada manusia maupun hewan. Ia menemukan prosedur operasi tracheostomy, karena dia adalah yang pertama untuk memberikan gambaran yang benar dari operasi tracheostomy untuk pasien mencekik. Dia telah menyempurnakan prosedur pembedahan melalui eksperimen di atas seekor kambing. Dia juga melakukan autopsi postmortem pada domba selama uji klinis tentang pengobatan ulcerating penyakit paru-paru. Ia juga menulis di profilaksis terhadap infeksi saluran kemih dan menggambarkan pentingnya manajemen makanan dalam menjaga profilaksis.
Kalau disebutkan mungkin ratusan ilmuan (scientis) muslim yang telah meninggalkan warisan berharga bagi kemajuan dunia. Ibnu Zuhr adalah satu diantaranya. Seharusnya kita perlu sadar dan berbangga bahwa dunia Islam telah melahirkan banyak generasi yang telah berhasil membangun pondasi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sebenarnya apa yang dihasilkan dunia Barat saat ini tidak lepas dari kontribusi ilmuan muslim abad pertengahan (sekitar 9-14 M). Maka, kewajiban kita mengetahui dan menggali warisan tersebut sebagai upaya untuk mewujudkan sebuah cita-cita bersama mengutip istilah al-Attas, “Islamisasi Ilmu pengetahuan dan sains”.
Wallahu’alam
0 komentar:
Post a Comment