Beberapa waktu lalu saya mendapat statement cukup menarik dari seorang ustadz pengisi kajian fikih sunnah di asrama tentang hukum bedah mayat. Menurut beliau bedah mayat itu hukumnya haram atas alasan apapun termasuk untuk riset mahasiswa kedokteran. Saya penasaran dengan statemen itu dan ingin mencari kebenarannya. Maka saya posting tulisan di milist diskusi MITI-Mahasiswa untuk berdiskusi dengan beberapa ahli (dokter dan ahli fikih). Maka ini kira-kira beberapa jawaban dari sekian jawaban yang saya rangkum dari hasil diskusi di milist:
Pendapat dari rekan saya seorang dokter:
Bedah mayat (kadaver) hampir setiap tahun diadakan menjelang masuk semester 2 oleh mahasiswa kedokteran. Karena di semester 2 inilah mahasiswa kedokteran mulai melakukan praktikum Anatomi, yang dilakukan dengan membedah mayat, atau bahasa kerennya KADAVER (mayat yang telah diawetkan, biasanya proses pengawetan menggunakan formalin dan memakan waktu setahun). Keberadaan mayat dalam praktek kedokteran cukup urgent bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan dunia kedokteran.
Dan yang paling penting, Bagaimana kita bisa mengobati pasien kalau kita ga tahu struktur tubuh manusia. Apalagi untuk seorang ahli bedah. Gak mungkin kan seseorang yang akan membedah tubuh manusia untuk keperluan terapi, tapi ga pernah tahu struktur tubuh manusia itu seperti apa? Gimana kita bisa tahu struktur itu normal apa nggak, kalo kita ga pernah tahu dan liat. Seorang ahli bedah harus punya pengalaman beratus-ratus kali agar bisa menjadi ahli bedah profesional.
Kalo antum pernah liat TMD (Team Medical Dragon), mungkin antum akan paham urgensi dari praktikum bedah kadaver ini bagi mahasiswa kedokteran. Pengalaman saya ketika belajar anatomi dulu, saya harus membaca dan membuka atlas anatomi yang memberikan gambaran lengkap struktur tubuh manusia, dari organ yang besar seperti hepar sampai yang terkecil seperti serabut saraf/neuron. Hal ini diharapkan akan membuat kita lebih mudah dalam belajar. Tapi, ternyata ketika saya berhadapan langsung dengan kadaver, saya masih kebingungan. Mencocokkan gambar yang di atlas dengan struktur asli. Bisa antum bayangkan, bagaimana kalo seorang ahli bedah tidak pernah membedah tubuh asli manusia?
Dalam fakultas kedokteran FK Unair, kita tidak pernah jual beli mayat. Kadaver yang kita dapatkan berasal dari instalasi Forensik RSUD Dr Soetomo. Biasanya kadaver2 ini adalah jenazah yang tidak diketahui identitasnya. Tidak ada keluarga yang mengakui. Terakhir, insya Allah kiat sebagai mahasiswa kedokteran sangat menghormati jenazah yang kami gunakan untuk belajar. Kita selalu mendahului praktikum kita dengan doa.
Selanjutnya ini adalah jawaban Ust Nanung Danar Dono yang disarikan oleh Ega (rekan saya di departemen riset miti-mahasiswa). Ust Nanung ini sering mengisi kajian halal haram di RadioPengajian.com (saat ini menetap di Glasgow). Ini petikan jawaban beliau:
Sebatas yang saya pahami memang diharamkan JUAL-BELI jenazah manusia karena tubuh manusia sangat tinggi nilainya atau bahkan tidak ternilai harganya. Selain itu, kita tdk lagi bisa meminta keridloan si mayyit utk menggunakan tubuhnya pasca kematiannya. Akan tetapi, sesungguhnya ulama berbeda pendapat mengenai status hukum penggunaan mayat (organ tubuh manusia pasca kematian) utuk penelitian. Untuk JUAL-BELInya memang diharamkan, namun didasarkan atas pemanfaatan untuk perkembangan ilmu pengetahuan (tanpa jual-beli), ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa penggunaan tubuh mayat utuk penelitian ilmiah kedokteran hukumnya HARAM, karena tidak sepatutnya tubuh manusia 'dicabik-cabik' jadi kepingan kecil-kecil. Tubuh mayit itu hak kubur (liang lahat).
Pendapat kedua menyatakan bahwa berdasarkan atas kemanfaatannya utuk perkembangan ilmu pengetahuan, maka DIIJINKAN menggunakan organ tubuh mayit untuk keperluan ilmiah terseb. Meski demikian, ada aturan penggunaan cadaver tsb untuk penelitian. SOP penelitian dgn organ mayit itu mengisyaratkan bahwa sedapat mungkin kita menggunakan organ hewan. Jika dan hanya jika sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan dengan hewan dan hanya bisa menggunakan organ manusia, maka penggunaan organ manusia dilakukan sebagi alternatif terakhir.
Sedikit berbeda dengan status hukum dimana saat hidupnya sang 'calon' mayat sudah mengikrarkan organ tubuhnya untuk disedekahkan untuk keperluan yang lebih bermanfaat (kemaslahatan umat), misalnya : penelitian kedokteran, atau membantu orang yang membutuhkannya (tuna netra, renal failure, dll). Untuk hal semacam ini, ulama cenderung mengijinkannya.
Bagaimana dengan KERA. Sebatas yang saya ketahui pernyataan bahwa Kera tidak sama dengan manusia, itu benar sekali. DNA kera jauh berbeda dengan DNA manusia. Mungkin ada beberapa organ yang mirip secara visual, namun secara genetis, sangat jauh berbeda. Secara kemiripan genetis, sesungguhnya justeri BABI yang paling dekat kekerabatan DNA-nya dengan manusia. Itulah mengapa tidak ada cangkok jantung/ginjal (zeno-transplantation) dari jantung/ginjal kera. Selama ini yang dipakai adalah jantung/ginjal babi.
Menurut info penelitian Prof. Muladno dari IPB (kakak kelas saya jauh di Fak. Peternakan UGM), pada tahun 1974, jumlah zeno-transplantation jantung babi ke manusia yang berhasil di AS dan Jepang sudah mencapai angka di atas 15.000 operasi. Untuk menghindari reaksi penolakan ketika jantung babi dicangkokkan pada tubuh manusia, maka beberapa puluh tahun yang lalu sudah dilakukan penanaman gen manusia pada tubuh babi, sehingga diharapkan tidak ada lagi reaksi penolakan ketika jantung babi dipasang menggantikan jantung manusia.
Wallahu a'lam bishowab.
0 komentar:
Post a Comment