Dan yang terakhir adalah
pendapat Ust Farid Nu’man, yang saya copas langsung dan dihilangkan hadits
arabic-nya karena sulit saya copas di lepi saya.
Otopsi Mayat Untuk
Praktek Mahasiswa Kedokteran
Seorang muslim dan
muslimah adalah terhormat dan terjaga baik darah dan hartanya. Tidak boleh
menodai kehormatan mereka, kecuali ada hak Islam yang mereka langgar.
Dasarnya adalah sebuha
hadits, yang artinya: dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Aku
diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi (bersyahadat),
bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad
adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah
melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan
hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan
mereka.” (HR. Bukhari, No. 25, dari Ibnu
Umar , Muslim No. 35, dari Jabir bin Abdullah, juga No. 36 dari
Ibnu Umar).
Jadi, setiap muslim telah
terjaga (ma’shum) darah dan hartanya, mereka tidak boleh disakiti
sedikit pun oleh siapapun. Tidak boleh dirusak kehidupannya, termasuk tubuhnya,
kecuali karena hak Islam. Apa maksud hak Islam di sini? Seorang yang enggan
mengeluarkan zakat padahal sudah mampu dan nishab, maka waliyul amri (pemimpin)
berhak mengambil hartanya; seseorang yang berzina maka dia dihukum rajam,
seseorang yang mencuri dengan jumlah yang mencapai nishab, maka dipotong
tangannya, dan semisalnya. Itulah pertumpahan darah dan pengambilan harta
karena mereka melanggar hak Islam. Larangan merusak dan
menodai seorang muslim ini, adalah ketika mereka masih hidup.
Bagaimana ketika sudah wafat? Secara khusus, Islam melarang
merusak seorang muslim yang sudah wafat, sebagaimana hadits: Dari
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Mematahkan tulang
seorang mayit, sama halnya dengan mematahkannya ketika dia masih
hidup. (HR. Abu Daud No. 3207, Ibnu Majah No. 1616, Ahmad No. 24783,
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Para perawinya terpercaya dan merupakan
perawi hadits shahih, kecuali Abdurrahman bin Ubay, yang merupakan perawi
kitab-kitab sunan, dan dia shaduq (jujur).” Lihat Tahqiq
Musnad Ahmad No. 24783. Syaikh Al Albani juga menshahihkannya.
Lihat Shahihul Jami’ No. 2132)
Maka menyakitinya ketika
sudah wafat adalah sama dengan menyakitinya ketika masih hidup, yaitu sama
dalam dosanya. (Imam Abu Thayyib Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 9/18) karena
mayit juga merasakan sakit. (Ibid)
Menyakiti seorang mukmin
ketika matinya, sama dengan menyakitinya ketika dia masih
hidup. (Lihat Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 12115)
Dengan demikian, pada
dasarnya adalah hal yang terlarang menyakiti dan melukai mayit muslim menurut
keterangan-keterangan di atas, termasuk membedah mayit.
Bagaimana Jika Darurat?
Dan Daruratnya seperti apa?
Keadaan darurat
(sangat mendesak) memang membuat perkara yang pada dasarnya haram menjadi
dibolehkan. Hal ini sesuai dengan kaidah:
Keadaan
darurat membuat boleh hal-hal yang terlarang. (Imam As Suyuthi, Al
Asybah wan Nazhair, Hal. 84. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Kaidah
ini berasal dari ayat:
“ Barangsiapa yang dalam
Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
(QS. Al An’am (6): 145)
Atau ayat lainnya:
“Sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya. (QS. Al An’am (6): 119)
Namun, yang menjadi
masalah adalah keadaan bagaimanakah yang sudah masuk zona darurat itu? Para
ulama kita telah menyebutkan bahwa keadaan darurat itu terjadi jika sudah
mengancam eksistensi dari salah satu atau lebih dari lima hal; yaitu agama,
nyawa, akal, harta, dan keturunan. Ini diistilahkan dengan Dharuriyatul
Khamsah. Sementara Imam Al Qarrafi menambahkan menjadi enam dengan
“kehormatan”.
Jika belum mengancam, dan
masih bisa diupayakan dengan cara lain atau alternatif yang dapat
menggantikannya, maka tidak bisa dikatakan darurat. Sehingga
keharamannya tidak berubah.
Otopsi Untuk Kepentingan
Praktek Kedokteran dan Ilmu Pengetahuan
Nah, apakah
praktikum kedokteran masuk ke wilayah darurat? Yakni memang tidak ada
alternatif lain selain menggunakan mayit manusia. Bisa jadi memang ada hewan
yang anatominya sama dengan manusia, tapi apakah pada bagian detailnya memang
sama semuanya? Bukankah Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya
bentuk, yang berarti memang tidak ada yang menyamainya kecuali manusia juga?
Maka, masalah ini para
ulama kita berbeda pendapat. Ada yang membolehkan secara mutlak,
mengharamkan secara mutlak, dan ada pula yang merinci dan melihatnya
secara per kasus.
Kelompok pertama, yang membolehkan secara
mutlak, di antaranya adalah yang dikeluarkan oleh Majma’ Fiqih Al
Islami di Mekkah pada Daurah mereka yang ke 10. Disebutkan dalam Fiqhun
Nawazil fil ‘Ibadat:
“Jika bertemu dua
maslahat maka mesti diutamakan maslahat yang lebih tinggi, maka menurut kami
maslahat bagi mayit dengan tidak dibedah, adapun bagi kami
maslahat orang banyak adalah dengan cara membedah agar manusia
mendapatkan faidah dan para mahasiswa bisa mempelajari bagaimana pengobatan
bagi manusia ... dan seterusnya. Mereka mengatakan: maslahat umum lebih
diutamakan dibanding maslahat yang khusus. Demikian juga, jika bertemu dua
mafsadat (kerusakan/mudharat) maka yang dijalankan adalah kerusakan yang lebih
ringan. Membedah mayit adalah kerusakan, namun bodoh terhadap aturan ilmu
kedokteran itu merupakan kerusakan yang umum, maka yang dijalankan adalah yang
kerusakannya lebih ringan.” (Dr. Khalid bin Ali Al Musyaiqih, Fiqhun
Nawazil, Hal. 62)
Dalam Majalah
Majma’ Fiqh Al Islami juga disebutkan:
“Benar, Islam adalah
agama yang memuliakan manusia baik ketika hidup dan mati maka Islam
mengharamkan mempermainkan mayit, memotong, dan mencincangnya, hanya saja
syariat membolehkan membedah mayit ketika hal itu merupakan sarana yang
mendesak untuk mempelajari dan mengetahui secara detail dan mudah ilmu
kedokteran, dan memperbaiki kemajuan kemampuan para
dokter dan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat
Islam.” (Majalah Majma’ Fiqh Al Islami, 4/60)
Ada pun Kelompok
kedua, yang mengharamkan secara mutlak.
Mereka beralasan dengan
dalil-dalil berikut:
-Firman
Allah Ta’ala: (dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan).
-Hadits
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa Nabi bersabda: (mematahkan
tulang mayit adalah seperti mematahkannya ketika masih hidup)
-Ulama
telah sepakat bahwa pengebirian – yakni memotong testis ahlul
harbi dan budak- adalah haram, maka pembuat syariat melarang
mencincang dan merampas mayit, sebagaimana dalam hadits Qatadah: (bahwa Nabi
melarang merampas dan mencincang mayit)
-Hadits
Abu Martsad dari Nabi, bersabda; (janganlah kalian duduk di atas kuburan dan
jangan shalat menghadap kepadanya), maka jika duduk di atas kubur saja
diharamkan apalagi membedahnya, itu lebih utama untuk diharamkan. (Fiqhun
Nawazil, Hal. 63)
Kelompok ketiga, tidak mengharamkan
secara mutlak, dan tidak pula membolehkan secara mutlak, tetapi mereka
merincinya. Berikut keterangannya:
Bahwasanya
boleh saja membedah mayit orang kafir untuk maksud pengajaran. Ada pun mayit
muslim maka tidak boleh membedahnya. Ini adalah pendapat yang diputuskan
oleh Hai’ah Kibar Al ‘Ulama di Kerajaan Saudi Arabia, fatwa
No. 47. (Ibid)
Alasan
kelompok ini adalah: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman tentang hal yang
menjadi hak kaum kafir: (Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka
tidak seorangpun yang memuliakannya ) maka kemuliaan orang kafir
tidaklah seperti halnya kemuliaan orang muslim, dia lebih ringan, dan
kehormatannya tidak seperti kehormatan seorang muslim. Jadi, orang kafir telah
menghinakan dirinya dengan kekafirannya dan tanpa keimanannya, maka dia tidak
memiliki kemuliaan. Maka, mereka mengatakan atas dasar inilah bolehnya membedah
mayit kafir, dan tidak bagi mayit muslim. (Fiqhun Nawazil,Hal. 63)
Nampaknya masalah
ini mengandung tiga bagian, yaitu :
- Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas
- Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit agar bisa diambil tindakan preventif secara dini
- Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran.
Setelah
didiskusikan dan saling mengutarakan pendapat, maka
majelis memutuskan sebagai berikut :
Untuk masalah pertama dan kedua,
majelis berpendapat tentang diperbolehkannya hal itu demi mewujudkan
banyak kemaslahatan dalam bidang keamanan, keadilan dan
tindakan pencegahan dari wabah penyakit. Adapunmafsadat yang ada
yaitu merusak kehormatan mayit yang di otopsi bisa
tertutupi jika dibandingkan dengan kemaslahatannya yang sangat banyak.
Maka majelis sepakat menetapkan diperbolehkan melakukan otopsi mayit untuk dua
tujuan ini, baik mayit itu ma’shum (mayit muslim) ataukah tidak.
Adapun yang ketiga yaitu
yang terkait dengan tujuan pendidikan kedokteran, maka
memandang bahwa syariatIslam datang dengan membawa, serta memperbanyak
kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil kerusakandengan cara
melakukan kerusakan yang paling ringan serta maslahat yang paling
besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang juga karena
pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan ilmu
medis, maka majelis berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk membedah
mayat muslim. Hanya saja karena Islam menghormati seorang muslim
baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud
dan Ibnu majah dari Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda : “Mematahkan tulang mayit sebagaimana
mematahkannya tatkala masih hidup.”
Juga melihat bahwa bedah
itu menghinakan kehormatan jenazah muslim, padahal itu semua bisa dilakukan
terhadap jasad orang yang tidak memiliki ‘ishmah (tidak
memiliki keterjagaan dari darah dan hartanya yakni mayit non muslim, pen),
maka majelis berpendapat bahwa bedah tersebut cuma bisa dilakukan terhadap
mayit yang tidakma’shum (mayit non muslim) bukan terhadap mayit
yang ma’shum (muslim). Wallahul Muwaffiq wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa sallam ... Hai’ah Kibar Al
Ulama. (Lihat Fatawa Islamiyah, 2/110). Dan, pendapat kelompok
ketiga ini nampaknya lebih mendekati kebenaran. Wallahu A’lam.
Kami menambahkan, bahwa
bisa juga dirinci sebagai berikut:
- Jika seorang atau
sekelompok ilmuwan dan mahasiswa membutuhkan dengan sangat mendesak mayit
manusia yang terkena penyakit aneh, mereka mencari dan meneliti tentang
wabah penyakit, virus, dan semisalnya, yang ada padanya. Penelitian ini
bermaslahat secara pasti buat kehidupan manusia secara umum, agar bisa
mengetahui dan menghindar penyakit misterius sepertinya. Ini pun juga
penelitian baru yang belum ada sebelumnya, maka tidak apa-apa melakukan
pembedahan terhadap mayit manusia tersebut, baik mayit muslim atau bukan.
Sebab Al Mashlahah Al ‘Ammah muqaddamatun ‘alal Mafsadah Al Khaashah(maslahat
umum lebih diutamakan dibanding kerusakan yang khusus dan terbatas). Ini pun
harus mendapatkan izin dari wali si mayit.
- Jika seorang mahasiswa
kedokteran praktikum, dan dia memerlukan mayit untuk itu, dan ini pun
diperintahkan oleh para dosennya. Maka sebaiknya dia menggunakan mayit yang
sebelumnya sudah dijadikan bahan penelitian (misal mayat itu sudah dijadikan
bahan penelitian oleh kasus yang saya sebut di atas), atau dengan menggunakan
hewan yang memiliki anatomi yang hampir sama dengan manusia. Hal ini disebabkan
tidak ada yang baru dalam penelitian ini, dan hanya demi kepentingan pribadi
yakni nilai kuliah saja. Kaidahnya adalah Adh Dharar Laa Tuzaal bidh
Dharar (kerusakan tidak boleh dihilangkan dengan cara yang rusak
juga). Tidak mendapatkan nilai adalah mudharat bagi si mahasiswa, dan membedah
mayit adalah mudharat bagi mayit tersebut, maka tidak boleh menghilangkan
mudharat si mahasiswa dengan menggunakan dan menghasilkan mudharat baru bagi
orang lain (si mayit). Kalau pun masih terpaksa menggunakan mayit
manusia, maka menggunakan mayit non muslim adalah lebih selamat, sebab mereka
tidak ada ‘ishmah, baik dalam keadaan hidup dan matinya.
Wallahu A’lam
Syarat Pembedahan (Otopsi)
Ada beberapa syarat yang
mesti dipenuhi:
- Keadaan darurat di sini mesti sesuai kebutuhan dan kadarnya. Jika yang ingin diteliti adalah tubuh bagian tangan, maka bedahnya hanya bagian tangan. Tidak benar membedah mata dan lainnya apalgi dengan tujuan coba-coba.
- Jika mayitnya laki-laki maka pihak yang membedah adalah laki-laki, juga sebaliknya jika mayit perempuan. Sebab aurat orang mati sama dengan aurat orang hidup, ini menurut mayoritas ulama.
- Potongan-potongan tubuh yang dibedah atau diteliti hendaknya dikubur setelah digunakan, sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap manusia.
Demikian sikap Islam
terhadap bedah mayit untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan. Wallahu A’lam.
thanks a lot untuk teman-teman MITI Mahasiswa atas diskusinya.
0 komentar:
Post a Comment