Home » » Hukum Bedah Mayat (part 2)

Hukum Bedah Mayat (part 2)


Dan yang terakhir adalah pendapat Ust Farid Nu’man, yang saya copas langsung dan dihilangkan hadits arabic-nya karena sulit saya copas di lepi saya. 

Otopsi Mayat Untuk Praktek Mahasiswa Kedokteran
Seorang muslim dan muslimah adalah terhormat dan terjaga baik darah dan hartanya. Tidak boleh menodai kehormatan mereka, kecuali  ada hak Islam yang mereka langgar.
Dasarnya adalah sebuha hadits, yang artinya: dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka  bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan mereka.”  (HR.  Bukhari,  No. 25, dari Ibnu Umar , Muslim No. 35, dari Jabir bin Abdullah, juga No. 36 dari Ibnu Umar).

Jadi, setiap muslim telah terjaga (ma’shum) darah dan hartanya, mereka tidak boleh disakiti sedikit pun oleh siapapun. Tidak boleh dirusak kehidupannya, termasuk tubuhnya, kecuali karena hak Islam. Apa maksud hak Islam di sini? Seorang yang enggan mengeluarkan zakat padahal sudah mampu dan nishab, maka waliyul amri (pemimpin) berhak mengambil hartanya; seseorang yang berzina maka dia dihukum rajam, seseorang yang mencuri dengan jumlah yang mencapai nishab, maka dipotong tangannya, dan semisalnya. Itulah pertumpahan darah dan pengambilan harta karena mereka melanggar hak Islam. Larangan merusak dan menodai  seorang muslim ini, adalah ketika mereka masih hidup. Bagaimana ketika sudah wafat? Secara khusus, Islam melarang merusak  seorang muslim yang sudah wafat, sebagaimana hadits: Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Mematahkan tulang seorang mayit, sama halnya dengan mematahkannya ketika dia masih hidup. (HR. Abu Daud No. 3207, Ibnu Majah No. 1616, Ahmad No. 24783, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Para perawinya terpercaya dan merupakan perawi hadits shahih, kecuali Abdurrahman bin Ubay, yang merupakan perawi kitab-kitab sunan, dan dia shaduq (jujur).” Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 24783. Syaikh Al Albani juga menshahihkannya. Lihat Shahihul Jami’ No. 2132)
Maka menyakitinya ketika sudah wafat adalah sama dengan menyakitinya ketika masih hidup, yaitu sama dalam dosanya. (Imam Abu Thayyib Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 9/18) karena mayit juga merasakan sakit. (Ibid)
Menyakiti seorang mukmin ketika matinya, sama dengan menyakitinya ketika dia masih hidup. (Lihat Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No.  12115)
Dengan demikian, pada dasarnya adalah hal yang terlarang menyakiti dan melukai mayit muslim menurut keterangan-keterangan di atas, termasuk membedah mayit.

Bagaimana Jika Darurat? Dan Daruratnya seperti apa?
 Keadaan darurat (sangat mendesak) memang membuat perkara yang pada dasarnya haram menjadi dibolehkan. Hal ini sesuai dengan kaidah:
                Keadaan darurat membuat boleh hal-hal yang terlarang. (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 84. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
                Kaidah ini berasal dari ayat:
“ Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Al An’am (6): 145)
Atau ayat lainnya:
  “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. (QS. Al An’am (6): 119)
Namun, yang menjadi masalah adalah keadaan bagaimanakah yang sudah masuk zona darurat itu? Para ulama kita telah menyebutkan bahwa keadaan darurat itu terjadi jika sudah mengancam eksistensi dari salah satu atau lebih dari lima hal; yaitu agama, nyawa, akal, harta, dan keturunan. Ini diistilahkan dengan Dharuriyatul Khamsah. Sementara Imam Al Qarrafi menambahkan menjadi enam dengan “kehormatan”.
Jika belum mengancam, dan masih bisa diupayakan dengan cara lain atau alternatif yang dapat menggantikannya, maka tidak bisa dikatakan darurat.  Sehingga keharamannya tidak berubah.

Otopsi Untuk Kepentingan Praktek Kedokteran dan Ilmu Pengetahuan
 Nah, apakah praktikum kedokteran masuk ke wilayah darurat? Yakni memang tidak ada alternatif lain selain menggunakan mayit manusia. Bisa jadi memang ada hewan yang anatominya sama dengan manusia, tapi apakah pada bagian detailnya memang sama semuanya? Bukankah Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk, yang berarti memang tidak ada yang menyamainya kecuali manusia juga?
Maka, masalah ini para ulama kita berbeda pendapat. Ada  yang membolehkan secara mutlak, mengharamkan secara mutlak,  dan ada pula yang merinci dan melihatnya secara per kasus.

Kelompok pertama, yang membolehkan secara mutlak, di antaranya adalah yang dikeluarkan oleh Majma’ Fiqih Al Islami di Mekkah pada Daurah mereka yang ke 10. Disebutkan dalam Fiqhun Nawazil fil ‘Ibadat:
“Jika bertemu dua maslahat maka mesti diutamakan maslahat yang lebih tinggi, maka menurut kami maslahat bagi mayit dengan tidak dibedah,   adapun bagi kami maslahat orang banyak adalah dengan cara membedah  agar manusia mendapatkan faidah dan para mahasiswa bisa mempelajari bagaimana pengobatan bagi manusia ... dan seterusnya. Mereka mengatakan: maslahat umum lebih diutamakan dibanding maslahat yang khusus. Demikian juga, jika bertemu dua mafsadat (kerusakan/mudharat) maka yang dijalankan adalah kerusakan yang lebih ringan. Membedah mayit adalah kerusakan, namun bodoh terhadap aturan ilmu kedokteran itu merupakan kerusakan yang umum, maka yang dijalankan adalah yang kerusakannya lebih ringan.” (Dr. Khalid bin Ali Al Musyaiqih, Fiqhun Nawazil, Hal. 62)

Dalam Majalah Majma’ Fiqh Al Islami juga disebutkan:
“Benar, Islam adalah agama yang memuliakan manusia baik ketika hidup dan mati maka Islam mengharamkan mempermainkan mayit, memotong, dan mencincangnya, hanya saja syariat membolehkan membedah mayit ketika hal itu merupakan sarana yang mendesak untuk mempelajari dan mengetahui secara detail dan mudah ilmu kedokteran, dan memperbaiki kemajuan kemampuan para dokter  dan  bisa memberikan manfaat bagi masyarakat Islam.” (Majalah Majma’ Fiqh Al Islami, 4/60)
Ada pun Kelompok kedua, yang mengharamkan secara mutlak.
Mereka beralasan dengan dalil-dalil berikut:
-Firman Allah Ta’ala: (dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan).
-Hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa Nabi bersabda: (mematahkan tulang mayit adalah seperti mematahkannya ketika masih hidup)
-Ulama telah sepakat bahwa pengebirian – yakni memotong testis  ahlul harbi dan budak- adalah haram, maka pembuat syariat melarang mencincang dan merampas mayit, sebagaimana dalam hadits Qatadah: (bahwa Nabi melarang merampas dan mencincang mayit)
-Hadits Abu Martsad dari Nabi, bersabda; (janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadap kepadanya), maka jika duduk di atas kubur saja diharamkan apalagi membedahnya, itu lebih utama untuk diharamkan. (Fiqhun Nawazil, Hal. 63)
Kelompok ketiga, tidak mengharamkan secara mutlak, dan tidak pula membolehkan secara mutlak, tetapi mereka merincinya. Berikut keterangannya:
Bahwasanya boleh saja membedah mayit orang kafir untuk maksud pengajaran. Ada pun mayit muslim maka tidak boleh membedahnya. Ini adalah pendapat yang diputuskan oleh Hai’ah Kibar Al ‘Ulama di Kerajaan Saudi Arabia, fatwa No. 47. (Ibid)

Alasan kelompok ini adalah: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman tentang hal yang menjadi hak kaum kafir:  (Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya ) maka kemuliaan orang kafir tidaklah seperti halnya kemuliaan orang muslim, dia lebih ringan, dan kehormatannya tidak seperti kehormatan seorang muslim. Jadi, orang kafir telah menghinakan dirinya dengan kekafirannya dan tanpa keimanannya, maka dia tidak memiliki kemuliaan. Maka, mereka mengatakan atas dasar inilah bolehnya membedah mayit kafir, dan tidak bagi mayit muslim. (Fiqhun Nawazil,Hal. 63)

Nampaknya masalah ini mengandung tiga bagian, yaitu :
  1. Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas
  2. Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit agar bisa diambil tindakan preventif secara dini
  3. Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran. 

Setelah didiskusikan dan saling  mengutarakan pendapat, maka majelis memutuskan sebagai berikut :
Untuk masalah pertama dan kedua, majelis berpendapat tentang diperbolehkannya hal itu demi mewujudkan banyak kemaslahatan dalam bidang keamanan, keadilan dan tindakan pencegahan dari wabah penyakit. Adapunmafsadat yang ada yaitu merusak kehormatan mayit yang di otopsi bisa tertutupi jika dibandingkan dengan kemaslahatannya yang sangat banyak. Maka majelis sepakat menetapkan diperbolehkan melakukan otopsi mayit untuk dua tujuan ini, baik mayit itu ma’shum (mayit muslim)  ataukah tidak.

Adapun yang ketiga yaitu yang  terkait dengan tujuan pendidikan kedokteran, maka memandang bahwa syariatIslam datang dengan membawa, serta memperbanyak kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil kerusakandengan cara melakukan kerusakan yang paling ringan serta maslahat yang paling besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang juga karena pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan ilmu medis, maka majelis berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk membedah mayat muslim. Hanya saja karena  Islam menghormati seorang muslim baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu majah dari Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Mematahkan tulang mayit sebagaimana mematahkannya tatkala masih hidup.”

Juga melihat bahwa bedah itu menghinakan kehormatan jenazah muslim, padahal itu semua bisa dilakukan terhadap jasad orang yang tidak memiliki ‘ishmah (tidak memiliki keterjagaan dari darah dan hartanya yakni mayit non muslim, pen), maka majelis berpendapat bahwa bedah tersebut cuma bisa dilakukan terhadap mayit yang tidakma’shum (mayit non muslim) bukan terhadap mayit yang ma’shum (muslim). Wallahul Muwaffiq wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa sallam ... Hai’ah Kibar Al Ulama. (Lihat Fatawa Islamiyah, 2/110). Dan, pendapat kelompok ketiga ini nampaknya lebih mendekati kebenaran. Wallahu A’lam.

Kami menambahkan, bahwa bisa juga dirinci sebagai berikut:
- Jika seorang atau sekelompok ilmuwan dan mahasiswa membutuhkan dengan sangat mendesak mayit manusia yang terkena penyakit aneh, mereka  mencari dan meneliti tentang wabah penyakit, virus, dan semisalnya, yang ada padanya. Penelitian ini bermaslahat secara pasti buat kehidupan manusia secara umum, agar bisa mengetahui dan menghindar penyakit misterius sepertinya. Ini pun juga penelitian baru yang belum ada sebelumnya, maka tidak apa-apa melakukan pembedahan terhadap mayit manusia tersebut, baik mayit muslim atau bukan. Sebab Al Mashlahah Al ‘Ammah muqaddamatun ‘alal Mafsadah Al Khaashah(maslahat umum lebih diutamakan dibanding kerusakan yang khusus dan terbatas). Ini pun harus mendapatkan izin dari wali si mayit.

- Jika seorang mahasiswa kedokteran praktikum, dan dia memerlukan mayit untuk itu, dan ini pun diperintahkan oleh para dosennya. Maka sebaiknya dia menggunakan mayit yang sebelumnya sudah dijadikan bahan penelitian (misal mayat itu sudah dijadikan bahan penelitian oleh kasus yang saya sebut di atas), atau dengan menggunakan hewan yang memiliki anatomi yang hampir sama dengan manusia. Hal ini disebabkan tidak ada yang baru dalam penelitian ini, dan hanya demi kepentingan pribadi yakni nilai kuliah saja. Kaidahnya adalah Adh Dharar Laa Tuzaal bidh Dharar (kerusakan tidak boleh dihilangkan dengan cara yang rusak juga). Tidak mendapatkan nilai adalah mudharat bagi si mahasiswa, dan membedah mayit adalah mudharat bagi mayit tersebut, maka tidak boleh menghilangkan mudharat si mahasiswa dengan menggunakan dan menghasilkan mudharat baru bagi orang lain (si mayit).  Kalau pun masih terpaksa menggunakan mayit manusia, maka menggunakan mayit non muslim adalah lebih selamat, sebab mereka tidak ada ‘ishmah, baik dalam keadaan hidup dan matinya. Wallahu A’lam

Syarat Pembedahan (Otopsi)
Ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi:
  1. Keadaan darurat di sini mesti sesuai kebutuhan dan kadarnya.  Jika yang ingin diteliti adalah tubuh bagian tangan, maka bedahnya hanya bagian tangan. Tidak benar membedah mata dan  lainnya apalgi dengan tujuan coba-coba.
  2. Jika mayitnya laki-laki maka pihak yang membedah adalah laki-laki, juga sebaliknya jika mayit perempuan. Sebab aurat orang mati sama dengan aurat orang hidup, ini menurut mayoritas ulama.
  3. Potongan-potongan tubuh yang dibedah atau diteliti  hendaknya dikubur setelah digunakan, sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap manusia.

Demikian sikap Islam terhadap bedah mayit untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan. Wallahu A’lam.

thanks a lot untuk teman-teman MITI Mahasiswa atas diskusinya.
                                           

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

 
Support : facebook | twitter | a-DHA White Series
Copyright © 2013. Moving Forward - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger