aktivitas masyarakat Dusun Bedukan, Pleret, membuat pupuk organik (doc. RCDC MITI Pleret)
Tidak ada bangsa yang sejahtera dan dihargai bangsa lainnya tanpa kemajuan ekonomi. Kemajuan ekonomi akan dapat dicapai jika ada spirit kewirausahaan yang kuat dari bangsanya. Negara Cina merupakan salah satu contoh yang patut kita tiru. Setelah menggelar pesta akbar Olimpiade pada tahun 2008, mereka kembali membuat dunia berdecak kagum dengan kesuksesan para astronotnya berjalan-jalan di angkasa luar. Dan kini, dunia menantikan Cina turun tangan dalam membantu mengatasi krisis keuangan global. Tanpa kemajuan ekonomi negara, Cina tentu tidak dapat melakukan itu. Dan salah satu faktor kemajuan ekonomi di Cina adalah semangat wirausaha yang tinggi dari masyarakatnya dan didukung penuh oleh pemerintahnya.
Negara maju pada umumnya memiliki wirausaha yang lebih banyak ketimbang negara berkembang, apalagi negara miskin. Amerika Serikat misalnya memiliki wirausaha 11,5% dari total penduduknya. Sektor swasta selaku pelaku ekonomi di Amerika dapat menyumbang pendapatan nasional negara sebesar 10% pada tahun 1994. Singapura memiliki wirausaha sebanyak 7,2% dari total penduduknya. Maka wajar jika perkembangan ekonomi di Singapura jauh melesat melebihi negara-negara lain di ASEAN.
Bangsa Indonesia dengan segala potensi kekayaan alamnya ternyata hanya memiliki 0,81% wirausaha dari total penduduknya. Secara historis dan konsesus, sebuah negara harus memiliki minimal 2% wirausaha agar bisa menjadi negara maju. Jika dilihat dari jumlah SDA, negara Indonesia selayaknya sudah berada dalam jajaran negara maju. Sebagai contoh Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, tapi ternyata Indonesia tidak menjadi penghasil coklat terkemuka. Bandingkan dengan Swiss yang tidak memiliki lahan untuk menanam pohon kakao namun mampu menjadi produsen coklat terkemuka di dunia. Bangsa Jepang tidak memiliki sumber daya alam sebanyak Indonesia, namun negara ini bagaikan pabrik raksasa yang memasok sebagian besar kebutuhan manusia. Mengapa demikian? Karena dua negara tersebut memiliki kekuatan dibidang wirausaha dan teknologi. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, maka wirausaha dan teknologi menjadi kunci penting bagi perkembangan ekonomi suatu bangsa.
Untuk mempercepat pertumbuhan wirausaha berbasis teknologi di Indonesia, sebaiknya ada upaya yang serius dan terorganisir untuk menciptakan orang-orang yang mampu mengambil peluang yang ada dan menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri dan orang lain. Maka kegiatan sosialteknoprenuership sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi, menyediakan dana, mendukung ide dan menumbuhkan semangat masyarakat untuk berteknopreneur secara terorganisir. Untuk selanjutnya, jika lembaga ini sudah berkembang maka akan menciptakan teknopreneur dan sosialteknopreneur baru di masyarakat. Maka disini sistem kaderisasi akan berjalan secara kelembagaan dan alamiah.
Keistimewaan sosioteknopreneurship adalah keberanian para pelakunya untuk mengubah dan menghadirkan hal yang baru (inovatif) dengan menggunakan sentuhan teknologi dalam produk ataupun proses produksinya. Inovasi ini biasanya dilakukan secara mendasar dan berkesinambungan. Artinya metode yang dilakukan oleh para sosioteknopreneur pada produk ataupun proses produksi selalu dilakukan penyempurnaan secara berkelanjutan dengan inovasi teknologi. Hal ini menjadikan produk sosioteknopreneur memiliki positioning yang tinggi di pasaran dibandingkan produk sejenis yang tanpa sentuhan teknologi.
Mengapa sosioteknopreneur penting di Indonesia?
Kita ambil satu studi kasus dalam bidang ketahanan pangan karena penyedia bidang ini merupakan unsur mata pencaharian utama bagi masyarakat. Indonesia memiliki potensi agraris yang sangat besar. Dalam mencapai ketahanan pangan Indonesia, berbagai riset telah dilakukan dan telah berhasil ditemukan berbagai varietas unggul padi, jagung, kedelai, atau plasma nutfah talas, ubi kayu, rekayasa genetik untuk pohon pisang, kedelai, nanas, dan beberapa buah-buahan lain. Atau contoh hasil riset lain dalam pengadaan unsur pendukung ketahanan pangan, misalanya penelitian mengenai teknologi pembuatan pupuk dan pestisida ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya alam lokal. Dalam riset bidang peternakan telah berhasil dikembangkan vaksin ternak, kit radioimunoassay untuk meningkatkan inseminasi buatan, dan berbagai pakan multinutrisi untuk ternak.
Namun kondisi yang kontras masih kita saksikan. Sektor pertanian masih mengalami problem yang cukup serius. Berdasarkan kajian Avila dan Evenson (2004), total factory productivity (TFP) Indonesia untuk tanaman pangan menurun dari 3,95% (1961-1980) menjadi -0,78% (periode 1981-2001). Dan untuk sektor peternakan menurun dari 3,08% (1961-1980) menjadi 2,41% (1981-2001). Data statistik tahun 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia tercata sebanyak 15,42% dari total penduduk Indonesia, dan pada Maret 2009 jumlahnya menurun menjadi 14,15%. Yang lebih memprihatinkan adalah 63,5% jumlah penduduk miskin tersebut adalah masyarakat desa yang sebagian besar mata pencahariannya petani dan buruh tani. Fakta lain dari World Economic Forum (WEP) tahun 2009 menunjukkan bahwa daya saing Indonesia berada pada posisi 54 dari 133 negara. Lebih jauh WEP menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia berada pada area transisi dari kelompok negara yang ekonominya bergantung pada pemanfaatan sumber daya alam (factor driven) menuju kelompok negara yang ekonominya mengandalkan efisiensi (efficiency driven). Sementara itu, negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) yang merupakan kelompok negara maju, ekonominya bergantung pada inovasi (innovation driven) berbasis teknologi.
Banyaknya hasil riset dan beberapa kondisi riil di masyarakat di atas menunjukkan bahwa kontribusi teknologi belum terdeteksi dalam sektor ketahanan pangan di Indonesia sehingga proses produksi tidak berlangsung efisien. Padahal teknologi hanya akan memberikan kontribusi pada bidang ekonomi jika diadopsi dalam produk atau proses produksi, seperti halnya di negara-negara maju. Oleh karena itu harus dilakukan sebuah intermediasi teknologi kepada masyarakat dan pendampingan intensif oleh para akademisi (mahasiswa) sehingga penerapannya lebih optimal. Pendampingan intermediasi teknologi ini dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan sehingga dihasilkan sebuah perubahan yang signifikan pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Implementasi teknologi dalam kegiatan usaha masyarakat secara bottom up menjadi unsur yang cukup mendasar bagi kapabilitas bangsa yang akan berpengaruh pada pengembangan ekonomi bangsa dan negaranya.
Sosioteknopreneurship merupakan pilihan yang tepat sebagai salah satu bentuk intermediasi teknologi dan pendampingan intensif kepada masyarakat Indonesia mengingat keunggulan kearifan sosial masyarakat pedesaan masih sangat tinggi. Kegiatan ini sebaiknya juga diprioritaskan untuk masyarakat pedesaan yang pada umumnya memiliki potensi lokal yang sangat potensial untuk dikembangkan namun masih minim inovasi teknologi dan keterbatasan akses modal. Desa inovasi mandiri sebagai salah satu bentuk upaya peningkatan ekonomi masyarakat hanya dapat dicapai melalui terciptanya modal sosial, dimana nilai-nilai lokal baik yang berupa potensi alam maupun potensi sosial mampu mengikat warga masyarakat dan komunitas dalam sebuah kegiatan ekonomi bersama. Asosiasi atau paguyuban yang berbasis pada sebuah lembaga usaha seperti UKM atau koperasi diharapkan mampu menjadi wadah utama kegiatan ekonomi masyarakat.
0 komentar:
Post a Comment